Maraknya kelompok yang mengaku paling
benar dan menyalahkan orang lain merupakan fenomena yang sangat
memprihatinkan di negeri ini. Diperparah dengan munculnya banyak aliran
sesat yang menghina sahabat Nabi, memunculkan Nabi baru, dan lain
sebagainya.
Keprihatinan inilah yang
melatarbelakangi Dr Habib Salim Segaf al-Jufri untuk angkat bicara.
Dengan nada yang santun dan menyejukkan hati, beliau menyampaikan
ceramah singkat tentang tugas kita yang utama; sebagai dai, bukan hakim!
Berikut transkripnya sebagaimana dirilis oleh AlimanCenter.TV
“Saya sudah menjelaskan, nahnu du’atun la qudhatun, antum (Anda) itu sebagai dai, bukan hakim yang mengadili masyarakat.
Jadi, paham ya?
Dai itu kerjanya apa? Mengajak. Kalau
ada yang sesat, diajak. Itu namanya dai. Tapi kalau kita sudah
memposisikan sebagai hakim, itu persoalannya sudah berbeda.
Kalau posisi hakim ini, “Ini kafir. Ini musyrik. Ini fil jannah (masuk ke dalam surga). Ini fi jahannam (masuk ke dalam neraka jahannam).” Itu namanya qadhi, hakim.
Tapi antum sebagai dai. Ud’u sabili rabbika (ajaklah ke jalan Rabbmu). Kalau yang kurang paham, ya dialog, diajak.
Kalau menjelek-jelekkan Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu? Saya sudah jelaskan. (Menjelek-jelekkan sesama)
muslim saja sudah gak benar, apalagi (menjelek-jelekkan) sahabat Nabi!
Kalau sudah menjelek-jelekkan itu, dia sudah memposisikan sebagai apa? Dai atau hakim?
Antum bisa menjawab gak? Kalau menjelek-jelekkan, mengatakan ini-itu, dia hakim atau dai? Dia hakim.
Kerja dai itu berbeda. Kerja dai itu
mengajak. Meluruskan. Yang sesat diajak dengan cara yang bagus. Masalah
nanti dapat hidayah atau tidak dapat hidayah, itu urusan lain. Bukan di
tangan kita.
Tapi yang penting, negara juga hadir. Ini penting juga. Negara itu harus hadir.
Adanya agama untuk membuat masyarakat
menjadi tenang. Saya berharap, di setiap agama ada lembaga yang menjadi
reference, rujukan.
Kita di Indonesia ada sekian banyak
agama. Nanti kan muncul, agama ini, agama itu. Nah, (kalau ada
rujukannya bisa dilihat) benar gak agama tersebut?
Sebab ada juga di daerah-daerah, orang
shalat tidak membaca bismillah, tapi menggunakan terjemahan. Ada juga
kan? Pernah dengar kan?
(Lalu) muncul atau ada Nabi baru, atau ada ini (ajaran) baru. Di sinilah negara harus hadir.
Di situ pentingnya (kehadiran negara).
Ulama pun mempunyai rujukan, apakah MUI (Majlis Ulama Indonesia), atau
apa, yang menjadi rujukan; mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Tetapi sebagai orang umum, sebagai masyarakat, nahnu du’atun la qudhatun; kita itu dai, bukan hakim.”
Wallahu a’lam. [Pirman/BersamaDakwah]
0 komentar:
Posting Komentar
Apabila selesai baca Jangan lupa komentar saudaraku, tapi yang sopan ya....