Ilustrasi (inet) |
Beliau
mencetuskan kaidah tersebut tidak sembarang, tetapi berdasarkan
petunjuk Al-Qur’an, As-Sunnah, bimbingan salaf shalih, karena kondisi
dan situasi, dan karena kebutuhan umat Islam untuk saling mendukung dan
membantu dalam menghadapi musuh mereka yang banyak. Meskipun di antara
mereka terjadi perselisihan dalam banyak hal, tetapi mereka bersatu
dalam menghadapi musuh. Inilah yang diperingatkan dengan keras oleh
Al-Qur’an, yaitu: orang-orang kafir tolong-menolong antara sesama
mereka, sementara orang-orang Islam tidak mau saling menolong antara
sesamanya. Allah berfirman
“Adapun orang-orang kafir, sebagian
mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para
muslimin) tidak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah itu, niscaya
akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (al Anfal
73)
Makna illaa taf’aluuhu (jika kamu tidak melaksanakan apa yang
telah diperintahkan Allah itu) ialah: jika kamu tidak saling melindungi
dan saling membantu antara sebagian dengan sebagian lain sebagaimana
yang dilakukan orang-orang kafir. Jika itu tidak dilakukan, niscaya akan
terjadi kekacauan dan kerusakan yang besar di muka bumi. Sebab,
orang-orang kafir itu mempunyai sikap saling membantu, saling mendukung,
dan saling melindungi yang sangat kuat di antara sesama mereka,
terutama dalam menghadapi kaum muslimin yang berpecah-pecah dan saling
merendahkan sesamanya.
Karena itu, tidak ada cara lain bagi orang
yang hendak memperbaiki Islam kecuali menyeru umat Islam untuk bersatu
padu dan tolong-menolong dalam menghadapi kekuatan-kekuatan musuh Islam.
Apakah
cendekiawan muslim yang melihat kerja sama dan persekongkolan Yahudi
internasional, misionaris Barat, komunis dunia, dan keberhalaan Timur di
luar dunia Islam, dapat merajut kelompok-kelompok dalam dunia Islam
yang menyempal dari umat Islam? Mampukah mereka menyeru ahli kiblat
untuk bersatu dalam satu barisan guna menghadapi kekuatan musuh yang
memiliki senjata, kekayaan, strategi, dan program untuk menghancurkan
umat Islam, baik secara material maupun spiritual?
Begitulah, para
muslih menyambut baik kaidah ini dan antusias untuk melaksanakannya.
Yang paling mencolok untuk merealisasikan hal itu ialah al-Imam
asy-Syahid Hasan al-Bana, sehingga banyak orang al-Ikhwan yang mengira
bahwa beliaulah yang menelorkan kaidah ini.
Adapun masalah
bagaimana kita akan tolong-menolong dengan ahli-ahli bid’ah dan para
penyeleweng, maka sudah dikenal bahwa bid’ah itu bermacam-macam dan
bertingkat-tingkat. Ada bid’ah yang berat dan ada yang ringan, ada
bid’ah yang menjadikan pelakunya kafir dan ada pula bid’ah yang tidak
sampai mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, meskipun kita
menghukuminya bid’ah dan menyimpang.
Tidak ada larangan bagi kita
untuk bantu-membantu dan bekerja sama dengan sebagian ahli bid’ah dalam
hal-hal yang kita sepakati dari pokok-pokok agama dan kepentingan dunia,
dalam menghadapi orang yang lebih berat bid’ahnya atau lebih jauh
kesesatan dan penyimpangannya, sesuai dengan kaidah: “Irtikaabu
akhaffidh dhararain” (memilih/melaksanakan yang lebih ringan
mudaratnya).
Bukan hanya bid’ah, kafir pun bertingkat-tingkat,
sehingga ada kekafiran di bawah kekafiran, sebagaimana pendapat yang
diriwayatkan dari para sahabat dan tabi’in. Dalam hal ini tidak ada
larangan untuk bekerja sama dengan ahli kafir yang lebih kecil
kekafirannya demi menolak bahaya kekafiran yang lebih besar. Bahkan
kadang-kadang kita perlu bekerja sama dengan sebagian orang kafir dan
musyrik – meskipun kekafiran dan kemusyrikannya sudah nyata – demi
menolak kekafiran yang lebih besar atau kekafirannya sangat membahayakan
umat Islam.
Dalam permulaan surat ar-Rum dan sababun-nuzul-nya
diindikasikan bahwa Al-Qur’an menganggap kaum Nashara – meskipun mereka
juga kafir menurut pandangannya (Al-Qur’an) – lebih dekat kepada kaum
muslim daripada kaum Majusi penyembah api. Karena itu, kaum muslim
merasa sedih ketika melihat kemenangan bangsa Persia yang majusi
terhadap bangsa Rum Byzantium yang Nashara. Adapun kaum musyrik bersikap
sebaliknya, karena mereka melihat kaum majusi lebih dekat kepada aqidah
mereka yang menyembah berhala.
Ketika itu turunlah Al-Qur’an yang
memberikan kabar gembira kepada kaum muslim bahwa kondisi ini akan
berubah, dan kemenangan akan diraih bangsa Rum dalam beberapa tahun
mendatang:
“… Dan pada hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu
bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah …”
(ar-Rum: 4-5)
Secara lebih lengkap Al-Qur’an mengatakan:
“Alif
laam miim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri yang terdekat Dan
mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun lagi.
Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan pada hari
(kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman,
karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (ar-Rum: 1-5)
Nabi
SAW pernah meminta bantuan kepada sebagian kaum musyrik Quraisy setelah
Fathu Makkah, dalam menghadapi musyrikin Hawazin, meskipun derajat
kemusyrikan mereka sama. Hal itu beliau lakukan karena menurut pandangan
beliau bahwa kaum musyrik Quraisy mempunyai hubungan nasab yang khusus
dengan beliau. Di samping itu, suku Quraisy termasuk suku yang mendapat
tempat terhormat di kalangan masyarakat, sehingga Shafwan bin Umayyah
sebelum masuk Islam pernah mengatakan, “Sungguh saya lebih baik
dihormati oleh seorang Quraisy daripada dihormati oleh seorang Hawazin.”
Bagi
Ahlus-Sunnah – meski bagaimanapun mereka membid’ahkan golongan
Muktazilah – tidak ada alasan untuk tidak memanfaatkan ilmu dan produk
pemikiran golongan Muktazilah dalam beberapa hal yang mereka sepakati,
sebagaimana tidak terhalangnya mereka untuk menolak pendapat Muktazilah
yang mereka pandang bertentangan dengan kebenaran dan menyimpang dari
Sunnah.
Contoh yang paling jelas ialah kitab Tafsir al-Kasysyaf
karya al-Allamah az-Zamakhsyari, seorang Muktazilah yang terkenal. Dapat
dikatakan hampir tidak ada seorang alim pun (dari kalangan Ahlus
Sunnah) – yang menaruh perhatian terhadap Al-Qur’an dan tafsirnya – yang
tidak menggunakan rujukan Tafsir al-Kasysyaf ini, sebagaimana tampak
dalam tafsir ar-Razi, an-Nasafi, an-Nisaburi, al-Baidhawi, Abi Su’ud,
al-Alusi, dan lainnya.
Begitu pentingnya Tafsir al-Kasysyaf ini
(bagi Ahlus-Sunnah) sehingga kita dapati orang-orang seperti al-Hafizh
Ibnu Hajar mentakhrij hadits-haditsnya dalam kitab beliau yang berjudul
Al-Kaafil asy-Syaaf fi Takhriji Ahaadiits al-Kasysyaaf. Kita jumpai pula
al-Allamah Ibnul Munir yang menyusun kitab untuk mengomentari
al-Kasysyaf ini, khususnya mengenai masalah-masalah yang diperselisihkan
dengan judul al-Intishaaf min al-Kasysyaaf.
Imam Abu Hamid
al-Ghazali, ketika menyerang ahli-ahli filsafat yang
perkataan-perkataannya menjadi fitnah bagi banyak orang, pernah meminta
bantuan kepada semua firqah Islam yang tidak sampai derajat kafir.
Karena itu, beliau tidak menganggap sebagai halangan untuk menggunakan
produk dan pola pikir Muktazilah dan lainnya yang sekiranya dapat
digunakan untuk menggugurkan pendapat/perkataan ahli-ahli filsafat
tersebut. Dan mengenai hal ini beliau berkata dalam mukadimah Tahafut
al-Falasifah sebagai berikut:
“Hendaklah diketahui bahwa yang
dimaksud ialah memberi peringatan kepada orang yang menganggap baik
terhadap ahli-ahli filsafat dan mengira bahwa jalan hidup mereka itu
bersih dari pertentangan, dengan menjelaskan bentuk-bentuk kesemrawutan
(kerancuan) mereka. Karena itu, saya tidak mencampuri mereka untuk
menuntut dan mengingkari, bukan menyerukan dan menetapkan perkataan
mereka. Maka saya jelekkan keyakinan mereka dan saya tempatkan mereka
dengan posisi yang berbeda-beda. Sekali waktu saya nyatakan mereka
bermazhab Muktazilah, pada kali lain bermazhab Karamiyah, dan pada kali
lain lagi bermazhab Waqifiyah. Saya tidak menetapkannya pada mazhab yang
khusus, bahkan saya anggap semua firqah bersekutu untuk menentangnya,
karena semua firqah itu kadang-kadang bertentangan dengan paham kita
dalam masalah-masalah tafshil (perincian, cabang), sedangkan mereka
menentang ushuluddin (pokok-pokok agama). Karena itu, hendaklah kita
menentang mereka. Dan ketika menghadapi masalah-masalah berat, hilanglah
kedengkian di antara sesama (dalam masalah-masalah kecil/cabang).”
Saudara
penanya berkata, “Bagaimana kita bersikap toleran kepada orang yang
menentang kita, yang nyata-nyata menyelisihi nash Al-Qur’an atau hadits
Nabawi, sedangkan Allah berfirman:
“Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an)
dan Rasul (As-Sunnah).” (an-Nisa’: 59)
Menurut saya (Qaradhawi),
saudara penanya ini tidak mengetahui suatu perkara yang penting, yaitu
bahwa nash-nash itu mempunyai perbedaan besar dilihat dari segi tsubut
(periwayatan) dan dilalah (petunjuk)-nya, yaitu ada yang qath’i dan ada
yang zhanni. Di antara nash-nash itu ada yang qath’i tsubut seperti
Al-Qur’an al-Karim dan hadits-hadits mutawatir yang sedikit jumlahnya
itu. Sebagian ulama menambahkannya dengan hadits-hadits Shahihain yang
telah diterima umat Islam dan disambut oleh generasi yang berbeda-beda
sehingga melahirkan ilmu yang meyakinkan. Tetapi sebagian ulama lagi
menentangnya, dan masing-masing mempunyai alasan:
Di samping itu,
ada nash yang zhanni tsubut. Misalnya, hadits-hadits umumnya, baik yang
shahih maupun hasan yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sunan, musnad,
mu’jam, dan mushannaf yang bermacam-macam.
Pada taraf zhanniyyah
ini derajat hadits itu bermacam-macam. Ada yang shahih, hasan, shahih
lidzatihi dan hasan lidzatihi, serta ada pula yang shahih lighairihi dan
hasan lighairihi, sesuai dengan sikap imam-imam dalam mensyaratkan
penerimaan dan pentashihan suatu hadits, ditinjau dari segi sanad atau
matan, atau keduanya. Karena itu, ada orang yang menerima hadits mursal
dan menjadikannya hujjah, ada yang menerimanya dengan syarat-syarat
tertentu, dan ada yang menolaknya secara mutlak.
Kadang-kadang ada
yang menganggap seorang rawi itu dapat dipercaya, tetapi yang lain
menganggapnya dhaif. Ada pula yang menentukan beberapa syarat khusus
dalam tema-tema tertentu yang dianggap memerlukan banyak jalan
periwayatannya, sehingga ia tidak menganggap cukup bila hanya
diriwayatkan oleh satu orang. Hal ini menyebabkan sebagian imam menerima
sebagian hadits dan melahirkan beberapa hukum daripadanya, sedangkan
imam yang lain menolaknya karena dianggapnya tidak sah dan tidak
memenuhi syarat sebagai hadits shahih. Atau ada alasan lain yang lebih
kuat yang menentangnya, seperti praktek-praktek yang bertentangan
dengannya.
Masalah di atas banyak contohnya dan sudah diketahui
oleh orang-orang yang mengkaji hadits-hadits ahkam, fiqih muqaran
(perbandingan), dan fiqih mazhabi. Mereka menulisnya dalam kitab-kitab
mereka yang disertai dengan dalil-dalil untuk memperkuat mazhabnya dan
menolak mazhab/orang yang bertentangan dengannya.
Sebagaimana perbedaan nash dari segi tsubut-nya, maka perbedaan nash dari segi dilalah lebih banyak lagi.
Di
antara nash-nash itu ada yang qath’i dilalahnya atas hukum, yang tidak
mengandung kemungkinan lain dalam memahami dan menafsirkannya.
Contohnya, dilalah nash yang memerintahkan shalat, zakat, puasa, serta
haji (yang menunjukkan wajibnya); dilalah nash yang melarang zina, riba,
minum khamar, dan lain-lainnya (yang menunjukkan keharamannya), dan
dilalah nash-nash al-Qur’an dalam pembagian waris. Tetapi nash yang
qath’i dilalahnya ini jumlahnya sedikit sekali.
Kemudian ada pula
nash-nash yang zhanni dilalahnya, yakni mengandung banyak kemungkinan
pengertian dalam memahami dan menafsirkannya.
Karena itu, ada
sebagian ulama yang memahami suatu nash sebagai ‘aam (umum), sedangkan
yang lain menganggapnya makhsus (khusus). Yang sebagian menganggapnya
mutlak, yang lain muqayyad. Yang sebagian menganggapnya hakiki, yang
lain majazi. Yang sebagian menganggapnya mahkam (diberlakukan hukumnya),
yang lain mansukh. Yang sebagian menganggapnya wajib, yang lain tidak
lebih dari mustahab. Atau yang sebagian menganggap nash itu menunjukkan
hukum haram, yang lain tidak lebih dari makruh.
Adapun
kaidah-kaidah ushuliyyah yang kadang-kadang oleh sebagian orang dikira
sudah mencukupi untuk menjadi tempat kembalinya segala persoalan, hingga
setiap perbedaan dapat diselesaikan dan setiap perselisihan dapat
diputuskan, ternyata dari beberapa segi masih diperselisihkan. Ada yang
menetapkannya, ada yang menafikannya, dan ada yang memilih di antara
yang mutlak dan muqayyad.
– Bersambung
Maraji’: Fatwa-Fatwa Kontemporer, Dr. Yusuf Qaradhawi.
0 komentar:
Posting Komentar
Apabila selesai baca Jangan lupa komentar saudaraku, tapi yang sopan ya....