Assalamu Alaikum, Selamat Datang Saudaraku  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Ketika Harus Menangis

Oleh Sudaryono Achmad
Menangis, tak hanya persoalan anak kecil, orang dewasa pun bisa menangis. Ada tangis bahagia, ada tangis luka. Keduanya kadang mewarnai sela-sela kehidupan kita. Tangisan adalah fitrah manusia. Sebuah kewajaran ketika kita pernah menangis, apapun alasan yang melatarbelakanginya. Ketika menangis, segala perasaan tertumpah ruah di mana kadang kita sampai lupa pada akal sehat yang semestinya berjalan. Luapan emosi tak tertahankan, mengalir bersama setiap tetes air mata kita.

Saya yakin, anda pun pernah menangis…?

Entah dalam moment apa. Ketika seseorang menangis, jelas batin yang sedang berbicara. Hatinya terusik. Jika sudah demikian, biarkan untuk sejenak membiarkan mereka. Biarkan sampai puas, toh pada saatnya akan reda. Baru, setelahnya, kita ajak berbincang mengenai persoalan yang dihadapainya. Cara yang terbaik adalah bicara dari hati ke hati. Jika kita melihat kesalahan ada pada dirinya, biarkan mereka meluahkan segalanya lewat kata-kata yang mungkin terlontar. Menyalahkah sikapnya, bukan cara yang bijak pada kondisi seperti itu.

Mengapa secara tiba-tiba saya menulis tentang persoalan remeh seputar menangis. Ya, karena sering saya tak tega melihat orang menangis. Ketika ada orang yang sedang menangis, kadang saya suka menungguinya sampai selesai. Ketika tangisan sudah reda, baru saya mencoba untuk mendengarkan keluh kesah yang dihadapinya. Bukan untuk sok bijak, hanya mencoba untuk belajar peduli saja dengan perasaan yang sedang diderita seseorang.

Menangis memang sangat terkait dengan kondisi jiwa. Jiwa yang sedang tertekan, merasa cobaan begitu berat. Atau kehilangan orang yang kita cinta. Kadang hati kita merasa hancur, tak ada lagi harapan. Begitulah kondisi jiwa kita yang bisa jadi pernah kita rasakan. Dan kalau memang tak tahan, menangislah sepuasnya. Asal setelahnya, kita bisa memaknai setiap tangisan itu. Memaknai mengapa kita mesti menangis, apakah dengan menangis saja persoalan bisa terselesaikan. Kelak, anda akan menyadari dengan sendirinya.

Lantas, apakah menangis identik dengan kecengengan..?

Tidak juga.

Justru, tangisan bisa jadi pertanda kelembutan hati kita. Contoh nyatanya, mungkin anda pernah menyaksikan anak-anak pengamen jalanan yang harus bekerja keras mendapatkan sesuap nasi, gelandangan yang bertebaran dijalan-jalan atau mereka yang harus rela tidur di emper-emper toko karena tak punya rumah. Jika anda menangis, sekedar sekali saja meneteskan air mata atau setidaknya batin anda menangis. Itulah tanda kelembutan. Sebuah potensi nurani yang perlu dipupuk. Kelak, kondisi yang demikian yang akan mengantarkan kita pada kepedulian nyata membantu orang-orang yang sedang tertimpa kesusahan.

Begitu juga ketika kita menyadari pernah berlaku dholim terhadap orang lain, atau kita merasa banyak dosa. Tak mengapa anda menangis. Apalagi bagi seorang muslim. Menangis bisa menjadi refleksi atas tingkap polah kita selama ini. Sendiri dimalam hening, beranjak takbir melaksanakan sholat tahajud, bisa menjadi terapi yang baik bagi kebersihan jiwa kita.

Pada malam yang demikian, menangislah. Menyadari akan eksistensi diri sebagai seorang hamba, menyadari betapa tingkah polah kita banyak yang salah, mendholimi orang, atau dosa-dosa berlumuran. Sekali lagi, menangislah. Asalkan setelahnya kita bisa mengambil makna dari setiap tetes tangisan kita.

http://penakayu. Blogspot. Com


04.00 | 0 komentar

Dakwah Itu Cinta

Oleh Lolli Adriani

Dakwah itu cinta. Benarkah? Sungguh indah kalimat ini terdengar di telingaku. Cinta yang bagaimana? Apakah cinta seperti pecinta memuja idaman hati mereka?

Kucoba resapi maknanya. Mengingat-ingat memori, sudah pernahkah aku berdakwah selama ini? Wah, pastinya sudah, walaupun kadang dalam hal yang sangat kecil.

Tunggu, tunggu, sepertinya benakku mengingat sesuatu.
Aku ingat ketika makan di kafe pada siang hari dengan para sahabatku. Ketika azan zuhur terdengar dari mesjid di dekat situ, kebanyakan mereka tidak mendengarkan. Dan aku pun dengan lembut mengingatkan,”Sst..lagi azan tuh. Dengerin bentar yuk”

Juga, aku ingat ketika sahabatku mendapatkan masalah yang begitu berat, hingga air matanya tak henti mengalir. Dan berulang kali juga aku menepuk pundaknya, merengkuh bahunya dalam pelukan, sambil membisikkan kalimat “Istigfar, istigfar ya..Insya Allah, sesudah kesulitan ada kemudahan..”

Atau juga ketika aku duduk melingkar di sebuah halaqah, mendengarkan murabbiku yang bersemangat merangkai kata, menyampaikan ayat-ayat Allah dengan antusiasnya, hingga butiran keringatnya mengalir di pelipis.

Sahabat, pernahkah kau mengalaminya seperti yang kualami?

Ternyata benar, dakwah itu adalah cinta. Kecintaan kita akan islam, sehingga kita akan selalu berusaha menyampaikan ajaran agama yang indah ini.

Ternyata benar, dakwah itu adalah cinta,. Kecintaan akan kebaikan-kebaikan, hingga kita akan selalu menebar benih-benih kebaikan di muka bumi.

Dakwah itu cinta, dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu.

Mari berdakwah, sahabat, walaupun cuma satu ayat.

Demi cinta kita akan Islam, demi menebarkan benih kebaikan di bumi Allah ini.

03.04 | 0 komentar

Surat Untuk Bunda Dari Bayi Yang Diaborsi

Dear Bunda…

    Bagaimana kabar bunda hari ini? Smoga bunda baik-baik saja. Amanda juga di sini baik-baik saja bunda. Allah sayang banget deh sama amanda. Allah juga yang menyuruh amanda menulis surat ini untuk bunda, sebagai bukti cinta amanda sama bunda. Bunda, ingin sekali amanda menyapa perempuan yang telah merelakan rahimnya untuk amanda diami walaupun hanya sesaat.

    Bunda, sebenarnya amanda ingin lebih lama nebeng di rahim bunda, ruang yang kata Allah paling kokoh dan paling aman di dunia ini, tapi rupanya bunda tidak menginginkan kehadiran amanda. Jadi sebagai anak yang baik, amanda pun rela menukarkan kehidupan amanda demi kebahagiaan bunda. Walaupun dulu, waktu bunda meluruhkan amanda, sakit banget bunda, badan amanda rasanya seperti tercabik-cabik dan keluar sebagai gumpalan darah yang menjijikan apalagi hati amanda, nyeri merasa seperti aib yang tidak dihargai dan tidak diinginkan. Tapi amanda tidak kecewa kok bunda, karena dengan begitu bunda telah mengantarkan amanda untuk bertemu dan dijaga oleh Allah bahkan amanda dirawat dengan penuh kasih sayang di dalam syurga-Nya.

    Bunda, amanda mau cerita, dulu amanda pernah menangis dan bertanya kepada Allah, mengapa bunda meluruhkan amanda saat amanda masih berupa wujud yang belum sempurna dan membiarkan amanda sendirian di sini? Apa bunda tidak sayang sama amanda? Bunda tidak ingin mencium amanda? Atau jangan-jangan karena nanti amanda rewel dan suka mengompol sembarangan? Lalu Allah bilang, bunda kamu malu sayang. Kenapa bunda malu? karena dia takut kamu dilahirkan sebagai anak haram. Anak haram itu apa ya Allah? Anak haram itu anak yang dilahirkan tanpa ayah. Amanda bingung dan bertanya lagi sama Allah, ya Allah, bukannya setiap anak itu pasti punya ayah dan ibu? Kecuali nabi Adam dan Isa? Allah yang Maha Tahu menjawab bahwa bunda dan ayah memproses amanda bukan dalam ikatan pernikahan yang syah dan Allah Ridhoi. Amanda semakin bingung dan akhirnya amanda putuskan untuk diam.

    Bunda, amanda malu terus-terusan nanya sama Allah, walaupun Dia selalu menjawab semua pertanyaan amanda tapi amanda mau nanyanya sama bunda aja, pernikahan itu apa sih? Kenapa bunda tidak menikah saja dengan ayah? Kenapa bunda membuat amanda jadi anak haram dan mengapa bunda mengusir amanda dari rahim bunda dan tidak memberi kesempatan amanda hidup di dunia dan berbakti kepada bunda? Hehe maaf ya bunda, amanda bawel banget. Nanti saja, amanda tanyakan bunda kalau kita ketemu.

    Oh ya Bunda, suatu hari malaikat pernah mengajak jalan-jalan amanda ke tempat yang katanya bernama neraka. Tempat itu sangat menyeramkan dan sangat jauh berbeda dengan tempat tinggal amanda di syurga. Di situ banyak orang yang dibakar pake api lho bunda, minumnya juga pake nanah dan makannya buah-buahan aneh, banyak durinya. Yang paling parah, ada perempuan yang ditusuk dan dibakar kaya sate gitu, serem banget deh bunda.

    Lagi ngeri-ngerinya, tiba-tiba malaikat bilang sama amanda, Nak, kalau bunda dan ayahmu tidak bertaubat kelak di situlah tempatnya…di situlah orang yang berzina akan tinggal dan disiksa selamanya. Seketika itu amanda menangis dan berteriak-teriak memohon agar bunda dan ayah jangan dimasukkan ke situ. Amanda sayang bunda, amanda kangen dan ingin bertemu bunda, amanda ingin merasakan lembutnya belaian tangan bunda dan amanda ingin kita tinggal bersama di syurga. Aamanda takut, bunda dan ayah kesakitan seperti orang-orang itu.

    Lalu, dengan lembut malaikat berkata, nak, kata Allah kalau kamu sayang, mau bertemu dan ingin ayah bundamu tinggal di syurga bersamamu, tulislah surat untuk mereka. Sampaikan berita baik bahwa kamu tinggal di syurga dan ingin mereka ikut, ajaklah mereka bertaubat dan sampaikan juga kabar buruk, bahwa jika mereka tidak bertaubat mereka akan disiksa di neraka seperti orang-orang itu.

    Saat mendengar itu, segera saja amanda menulis surat ini untuk bunda, menurut amanda Allah itu baik banget bunda. Allah akan memaafkan semua kesalahan makhluk-Nya asal mereka mau bertaubat nasuha. Bunda taubat ya? Ajak ayah juga, nanti biar kita bisa kumpul bareng di sini. Nanti amanda jemput bunda dan ayah di padang Mahsyar deh. Amanda janji mau bawain minuman dan payung buat ayah dan bunda, soalnya kata Allah di sana panas banget bunda, antriannya juga panjang, semua orang sejak jaman nabi Adam kumpul disitu. Tapi bunda jangan khawatir, Allah janji, walaupun rame kalo bunda dan ayah benar-benar bertaubat dan jadi orang yang baik, pasti amanda bisa ketemu kalian.

    Bunda, kasih kesempatan buat amanda ya, biar amanda bisa merasakan nikmatnya bertemu dan berbakti kepada orang tua, amanda juga mohon banget sama bunda, jangan sampai adik-adik amanda mengalami nasib yang sama dengan amanda, biarlah amanda saja yang merasakan sakitnya ketersia-siaan itu. Tolong ya bunda, kasih adik-adik kesempatan untuk hidup di dunia menemani dan merawat bunda saat bunda tua kelak.

    Sudah dulu ya bunda, amanda mau main-main dulu di syurga. Amanda tunggu kedatangan ayah dan bunda di sini. Amanda sayang banget sama bunda. Muach! :)



21.48 | 0 komentar

Diplomasi Rok Mini

Oleh Asma Nadia

Ketika Ketua DPR buka suara tentang tidak dianjurkannya mengenakan rok mini di lingkungan DPR, serentak komentar pro dan kontra bermunculan. Sebagian besar menentang dengan alasan mengenakan rok mini adalah hak asasi atau bentuk kebebasan ekspresi.

Saya mencoba mencerna alasan tersebut. Berpikir apakah mereka yang menentang adanya pembatasan rok mini di lingkungan DPR dengan vokal, selama ini juga menentang pembatasan berpakaian yang diterapkan, termasuk dalam berbagai acara undangan kenegaraan, bahkan acara resmi swasta sekalipun, “Mohon hadir dengan pakaian resmi, jins dan t-shirt tidak diperkenankan.“

Kalimat tersebut, misalnya, biasa kita temukan. Para wartawan yang berpakaian bebas, jika meliput di istana diharuskan mengenakan dasi. Padahal, bukankah mengenakan jins dan t-shirt atau tidak mengenakan dasi, juga bisa masuk ke dalam hak asasi dan kebebasan ekspresi?

Bagaimana pula dengan seragam? Sekolah memberlakukan seragam. Kantor banyak yang mengharuskan pemakaian seragam, termasuk di restoran, mal, dan hotel.

Tetapi, tidak terdengar protes tentang ini, sebab lumrah untuk dimengerti jika seorang tuan rumah atau lembaga mempunyai peraturannya sendiri. Biro media istana berhak menetapkan aturan berdasi pada wartawan pria yang ingin meliput di istana. Panitia satu acara berhak membuat kode etik berpakaian bagi mereka yang hadir, sebagaimana Departemen Pendidikan atau sekolah berhak membuat peraturan siswa harus mengenakan rok lima cm di bawah lutut.

Begitupun DPR atau Sekjen DPR juga berhak membuat aturan berbusana yang baik.
Pendeknya, soal rok mini bukanlah isu hak asasi melainkan lebih tepatnya hak satu lembaga untuk membuat aturan dengan alasan kenyamanan, norma, dan lainnya.

Tentu, supaya peraturan ini bisa diterima dengan baik, pihak DPR harus memberi alasan yang masuk akal, tidak terjebak dalam isu gender, dan politis. Rok mini pun bukan satu-satunya yang perlu dipersalahkan sebagai sebab pemerkosaan, karena banyak hal lain yang mungkin menjadi pemicu.

Beberapa hal berikut mungkin bisa dipertimbangkan.

Sudah bukan rahasia jika kehadiran perempuan dengan pakaian terbuka jauh lebih menarik perhatian kaum Adam ketimbang perempuan dengan penampilan tertutup. Dan, karenanya sangat mungkin menjadi distraksi dalam pertemuan-pertemuan formal yang digagas untuk membahas persoalan-persoalan besar.

Sementara itu, perempuan yang mengenakan rok mini, saat duduk, maka bagian yang terbuka akan semakin terekspose. Secara naluriah dalam situasi ini mereka akan berusaha menutup bagian yang terbuka dengan tas, map, berusaha menarik-narik ujung rok, atau membetulkan posisi duduknya berkali-kali hingga mungkin saja sedikit banyak terganggu fokusnya.

Sebagai poin tambahan, jika kita bertanya kepada para istri, manakah yang mereka pilih, suami dengan sekretaris atau rekan kerja yang mengenakan rok mini atau pakaian yang lebih tertutup? Saya kira tanpa perlu melakukan survei, kita sudah tahu jawabannya.

Tetapi, tentang aturan pakaian perempuan, ada juga yang mengatakan, justru mindset lakilaki yang harus dibenahi. Seperti komentar seorang aktivis perempuan, bukan berarti rumah yang terbuka setiap orang bisa mengambil sesuatu dari rumah itu, dan bukan salah pemilik rumah juga bila dibiarkan terbuka.

Kenyataannya, nyaris setiap pemilik rumah memilih menutup dan mengunci pintu rumah mereka demi keamanan. Bukankah ini menunjukkan tindakan tersebut sangat logis? Sebab, kejahatan terjadi bukan sekadar niat, melainkan juga didorong terbukanya kesempatan. Dengan alasan itu pula hukum dibuat. Jadi, ini bukan persoalan mindset semata.

Jika aturan kode etik pakaian wanita dengan rok di bawah lutut adalah hak yang legal, juga membuat semua pihak bisa bekerja tanpa distraksi, lalu mengapa peraturan ini harus diperdebatkan?

Apalagi terkait hak asasi dalam berpakaian, sebenarnya ada hal lain yang jauh lebih penting untuk dipersoalkan, yaitu saat anak-anak kita yang mengikuti inisiasi diharuskan mengenakan pakaian dengan berbagai atribut aneh dan tak pantas, sejak mereka meninggalkan rumah menuju sekolah/kampus, hingga kembali ke rumah. Belum terhitung kekerasan yang terjadi dan sudah memakan korban jiwa dalam penyelenggaraannya.

Tentang ini, seharusnya sudah sejak lama kita bersuara. Energi yang dihabiskan untuk membela rok mini, jauh lebih bermakna jika digunakan untuk membela hak asasi dan kehormatan anak-anak kita untuk berpakaian dan berpenampilan pantas, tanpa perlu dipaksa mempermalukan diri di awal mereka sekolah atau kuliah.[]


*REPUBLIKA (10/3/12)
20.08 | 0 komentar

Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Periode Rasul)

Periode Rasul merupakan masa awal pembentukan hukum Islam. Pada periode yang tidak berlangsung lama inilah—lebih kurang 22 tahun—terwariskan dasar-dasar pembentukan hukum yang sempurna.
Periode ini terdiri dari dua fase yang berbeda:

Fase pertama, yaitu masa Rasul di Mekah, lamanya 12 tahun, lebih beberapa bulan, sejak kerasulan beliau hingga hijrah ke Madinah. Pada fase ini belum ada arahan pembentukan hukum amaliyah dan penyusunan undang-undang perdata, perdagangan, keluarga, dsb. Ayat-ayat Qur’an yang turun pada masa itu sebagain besar berbicara tentang aqidah, akhlak, suritauladan dan sejarah perjalanan orang-orang terdahulu. Dalam tinjauan historis hal ini dapat kita fahami karena pada fase ini fokus perhatian Rasul adalah pada pengenalan prinsip-prinsip Islam, mengajak orang bertauhid dan meninggalkan penyembahan berhala, serta berusaha menyelamatkan para pengikut Islam dari orang-orang yang merintangi dakwah. Kaum muslimin pada saat itu masih lemah secara kuantitas dan belum memiliki pemerintahan sendiri.

Fase Kedua, yaitu sewaktu Rasul berada di Madinah, lamanya hampir 10 tahun, sejak hijrah beliau hingga wafatnya.
Dalam fase ini, Islam benar-benar telah tegak dengan kuantitas pengikut yang besar dan memiliki pemerintahan sendiri. Kebutuhan pembentuka hukum dan penyusunan undang-undang menjadi sebuah keniscayaan untuk mengatur hubungan internal, eksternal, baik dalam keadaan perang maupun damai.

Oleh karena itu, di Madinah telah disyariatkan hukum perkawinan, talak, waris, utang piutang, dsb. Dan surah-surah Madaniyah (surah-surah yang turun setelah hijrah) banyak mengandung ayat-ayat hukum, selain ayat-ayat aqidah, akhlak dan kisah-kisah.

Wewenang pembentukan hukum dalam periode ini

Dalam periode ini, wewenang pembentukan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasul. Apabila kaum muslimin dihadapkan pada suatu permasalahan, mereka segera menyampaikannya pada Rasul. Beliau sendiri yang langsung menyampaikan fatwa hukum, meneyelesaikan sengketa, dan menjawab berbagai pertanyaan. Keputusan hukum tersebut kadang-kadang dijawab oleh ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan kepada Rasul, dan kadang-kadang beliau berijtihad. Apa yang datang dari Rasul menjadi hukum bagai kaum muslimin dan menjadi undang-undang yang wajib ditaati, baik yang datangnya dari Allah maupun dari ijtihad beliau sendiri.

Namun ini bukan berarti pintu ijtihad tertutup sama sekali bagi selain Rasul. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa sebagaian sahabat telah berijtihad di masa hidup Rasulullah.

Ali bin Abi Thalib diberi arahan oleh Nabi cara memutuskan hukum ketika diutus ke Yaman untuk menjadi hakim. Muadz bin Jabal pun sebelum diutus ke Yaman pernah ditanya oleh Nabi: “Dengan apa engkau akan mengambil keputusan, apabila dihadapkan kepadamu suatu masalah yang tidak engkau temukan di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul?”, Muadz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan pendapatku”. Rasul kemudian berkata: “Segala puji bagi Allah, yang telah menyesuaikan utusan Rasulullah dengan apa yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Amr bin Ash pada suatu hari pernah diperintah oleh Nabi dengan sabdanya: ”Putuskanlah perkara ini!” . Amr bertanya: ”Apakah akau akan berijtihad, sedangkan engkau ada ya Rasulullah?”. Rasul menjawab: “Ya! Kalau engkau benar, maka engkau akan memperoleh dua pahala, dan kalau salah, maka akan memperoleh satu pahala.”

Meskipun demikian, kewenangan para sahabat untuk berijtihad adalah hanya pada situasi-situasi khusus dan sifatnya dalam rangka tathbiq (penerapan / pelaksanaan hukum) dan tidak dalam rangka tasyri (pembentukan / pembuatan hukum). Di samping itu hasil ijtihad para sahabat tentang suatu masalah tidaklah menjadi ketetapan hukum bagi kaum muslimin secara umum atau mengikat mereka, kecuali ada ikrar (legalisasi) dari Rasul.

Sumber pembentukan hukum

Sumber pembentukan hukum dalam periode Rasul ini ada dua, yaitu: wahyu ilahi dan ijtihad Rasul (ijtihad nabawi).

Jadi apabila datang permasalahan diantara kaum muslimin yang membutuhkan ketentuan hukum (terjadi sengketa, pertanyaan, atau permohonan fatwa), ada dua kemungkinan yang akan terjadi:

Pertama, Allah menurunkan wahyu kepada nabi untuk menetapkan keputusan. Contohnya adalah turunnya wahyu untuk menjawab pertanyaan sahabat tentang: perang di bulan haram (2: 217) dan tentang arak dan judi (2: 219).

Kemungkinan kedua adalah suatu hukum diputuskan dengan ijtihad nabawi. Ijtihad ini pun pada suatu waktu merupakan ta’bir ilham Ilahi yang diberikan Allah kepada nabi, dan di waktu yang lain praktis merupakan hasil dari kesimpulan-kesimpulan yang beliau ambil sendiri dengan berorientasi kepada kemaslahatan.

Hukum-hukum ijtihadiyah yang nabi tidak memperoleh ilham dari Allah, yakni yang bersumber dari pandangan pribadi beliau disebut hukum nabawi; hukum ini tidak akan diakui Allah, kecuali kalau ternyata benar. Jika ternyata salah, maka Allah akan mengadakan pembetulan.

Contoh nyata mengenai hal ini adalah peristiwa penetapan hukum bagi tawanan perang Badar. Saat itu belum ada syariat tentang tawanan perang, karenanya nabi berijtihad dengan memusyawarahkan hal ini dengan para pembesar di kalangan sahabat. Abu bakar memberikan pandangan agar para tawanan itu dikenakan tebusan sebagai imbalan pembebasannya, “Mereka adalah kaummu dan kerabatmu, biarkanlah mereka tetap hidup, barangkali Allah menerima taubat mereka, lalu ambilah fidyah dari mereka, yang berfumgsi memperkuat sahabat-sahabatmu.”, demikian pendapat Abu bakar.

Sedangkan Umar bin Khattab berpendapat bahwa para tawanan itu harus dibunuh, “Mereka telah membohongi dan mengusir engkau, maka hadapkanlah mereka kemari dan penggallah leher-leher mereka, mereka adalah tokoh-tokoh kafir, sedangkan Allah akan memberimu kecukupan bukan dari uang tebusan.”, demikian alasan Umar.

Rasulullah kemudian lebih memilih pendapat Abu Bakar, yang kemudian ternyata Allah mengadakan pembetulan dengan turunnya ayat:

“Tidak patut ada beberapa tawanan bagi nabi, sehingga ia pecah belahkan (musuh) di bumi; kamu suka kepada harta benda dunia, padahal Allah menghendaki (pahala) akhirat.” (QS. Al-anfal: 67).

Contoh lain berkaitan dengan ijtihad nabawi yang diralat firman Allah adalah peristiwa pemberian izin Nabi kepada beberapa orang untuk tidak turut dalam peperangan Tabuk dengan alasan adanya udzur. Allah mengadakan pembetulan keputusan Nabi tersebut dengan menurunkan firman-Nya:

”Allah memberi maaf kepadamu, mengapa engkau izinkan mereka, sebelum nyata bagimu orang-orang yang benar, dan( sebelum)  engkau tahu orang-orang yang berdusta?” (QS. At-taubah: 43).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembentukan hukum pada periode Rasul ini dapat dikatakan seluruhnya adalah bersumber dari Allah, meskipun ada ijtihad Rasul. Karena pada akhirnya keputusan tetap harus sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Jika ijtihad itu benar Allah akan membiarkannya, dan jika salah maka akan segera mendatangkan pembetulan atau ralat.

Pedoman pembentukan hukum pada periode ini

Dalam upaya memberikan keputusan hukum yang merujuk kepada sumber-sumber tasyri, Rasulullah selalu menunggu datangnya wahyu sebelum memmutuskan sesuatu; dan kalau ternyata wahyu tidak turun, beliau menyadari, bahwa persoalannya telah diserahkan kepada ijtihad beliau dengan berlandaskan kepada undang-undang Ilahi dan jiwa tasyri, serta perhitungan pribadinya yang berorientasi pada kemaslahatan, dan juga musyawarah dengan para sahabat.

Adapun prinsip-prinsip umum yang menjadi landasan pembentukan hukum, secara garis besar ada 4 prinsip:

Berangsur-angsur (tadarruj)

Proses pembentukan hukum Islam terjadi secara berangsur-angsur. Hukum-hukum syariat tidak datang secara sekaligus berbentuk undang-undang, ia datang bertahap mengikuti berbagai peristiwa dan kejadian.
Tadarruj ini memiliki hikmah sebagai berikut:
  1. Memudahkan ummat dalam mengenal materi demi materi undang-undang yang mengatur kehidupannya.
  2. Memudahkan ummat dalam memahami masalah-masalah hukum secara sempurna.
  3. Menjadi ilaj (obat) untuk memperbaiki jiwa-jiwa yang keras agar siap menerima taklif agama tanpa bosan, kesulitan atau keengganan.
Menyedikitkan peraturan-peraturan

Kelahiran hukum-hukum syariat adalah semata-mata karena adanya kebutuhan manusia dalam menjamin kemaslahatannya, maka seyogyanya pembentukan hukum-hukum itu dibatasi menurut relevansi kebutuhan dan kemaslahatan manusia..

Qur’an dan Sunnah melarang memperbanyak pertanyaan yang menyebabkan menjadi ketetapan hukum.
Allah SWT berfirman: (QS. Al-maidah: 101)

Rasulullah bersabda:
”Yang paling besar dosanya bagi orang Islam terhadap orang Islam, adalah orang bertanya-tanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan bagi kaum muslimin, kemudian diharamkan terhadap mereka karena pertanyaannya”.

Beliau juga bersabda:
”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan, dan telah meletakkan pembatasan-pembatasan, maka janganlah kamu melampauinya, dan telah mengharamkan beberapa perkara, maka janganlah kamu melanggar, dan telah mendiamkan beberapa perkara, sebagai rahmat atas kamu dan bukan karena lupa, maka janganlah kamu mencari-carinya.”

Mempermudah dan memperingan (taisir dan takhfif)

Prinsip memberikan kemudahan dan keringanan adalah karakter syariat Islam yang sangat menonjol. 

Allah SWT berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran” (QS. 2:…).

Allah juga berfirman:
“Allah hendak meringankan (keberatan) dari kamu, manusia itu dijadikan (bersifat) lemah.” (QS. An-Nisaa: 28).

Di firman-Nya:
”Dan tidak dijadikan bagi kalian dalam agama satu perkara yang berat.” (QS. Al-Haj: 78).

Dalam hadits shahih diriwayatkan bahwasanya apabila dipilihkan kepada nabi dua hal, maka Nabi mesti memilih yang lebih mudah diantara keduanya, asal saja tidak mengandung dosa.

Dalam syariat Islam, jika ada situasi-situasi khusus, dimana hukum-hukum yang telah ditetapkan ternyata mengandung kesulitan, maka sudah pasti disyariatkan rukhshah (keringanan), maka dihalalkan apa yang semula haram, manakala timbul keadaan yang memaksa. Diperbolehkan meninggalkan kewajiban apabila timbul kesulitan dalam melaksanakannya. Keadaan terpaksa, sakit, bepergian, lupa, ketidaksengajaan, ketidaktahuan, adalah hal-hal yang dianggap udzur yang menuntut adanya keringanan.

Pembentukan hukum sejalan dengan kemaslahatan manusia

Bukti berlakunya prinsip ini merujuk pada beberapa kenyataan yang terjadi bahwa pada suatu saat Allah telah menentukan hukum sesuatu, kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi, karena dipandang tidak relevan lagi dengan kemaslahatan manusia.
Contoh:
  1. Perubahan ketentuan kiblat dari baitul Maqdis ke Baitullah, Ka’bah.
  2. Perubahan ketentuan masa iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dari setahun menjadi 4 bulan 10 hari.
  3. Nabi pernah melarang ziarah kubur, kemudian memperkenankannya.
Selain itu, syariat Islam pada masa itu juga membiarkannya tradisi manusia yang ada, sepanjang tidak bertentangan dengan sendi-sendi agama dan tidak menimbulkan bahaya. Contoh: Islam membiarkan masalah kekufuan dalam perkawinan; membiarkan ikatan kekeluargaan dalam hukum waris, dll.

Peninggalan periode ini

Periode rasul ini telah mewariskan sumber tasyri pertama, yaitu wahyu Ilahi (ayat-ayat ahkam), dan ijtihad Rasul (hadits-hadits ahkam).

Materi-materi himpunan nash-nash ini tidak banyak, jumlah ayat-ayat ahkam tentang ibadah dan hubungannya dengan jihad ada 140 ayat. Jumlah ayat-ayat yang berkenaan dengan muamalat, jinayat (pidana), dan persaksian, kira-kira ada 200 ayat. Semuanya tersebar dalam berbagai surah.

Sementara jumlah hadits-hadits ahkam kira-kira berjumlah 4500 hadits, hal ini seperti diungkapkan oleh Ibnul Qayyim dalam A’lamul Muwaqqi’in. Sebagian besar menjelaskan kandungan Al-Qur’an yang mujmal (global) atau sebagai taqrir (pengakuan) atau taukid (penguat). Selebihnya berupa ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.

Klik sumber
18.08 | 0 komentar

KIPRAH KEWANITAAN

GALLERY FOTO

Cari Artikel di Sini

Counters


Categories