Assalamu Alaikum, Selamat Datang Saudaraku  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Ri’ayah Jamahiriyah

hilmi-aminuddinKetekunan kita dalam membangun aspek nukhbawiyah (kaderisasi), harus dibarengi dengan ketekunan kita dalam membangun jamahiriyah (kemasyarakatan). Ada tiga unsur yang harus kita perhatikan;

Pertama, sudah sejauh mana kita terlibat dalam ri’ayah mashalih ijtima’iyah (memelihara kepentingan publik). Kemudian yang 

kedua, sejauh mana kita terlibat dalam siyaghatu al-bina al-ijtima’i (membentuk bangunan sosial), yaitu upaya memperbaiki yang porak poranda. Ini adalah bangunan yang rusak. Bagaimana struktur masyarakat kita perbaiki sehingga menjadi bina muta’arif (bangunan yang saling mengenal), bina muta’awin (bangunan yang saling menolong), mutafahim (bangunan yang saling memahami), mutakafil (bangunan yang saling menanggung), sehingga menjadi mujtama qawi (masyarakat yang kuat).

Kata ulama dakwah, sasaran dalam membentuk ruh ukhuwah itu adalah hatta takunal ummatu ikhwanan muslimin, sehingga masyarakat menjadi kaum yang bersaudara. Na’udzubillah, jangan sampai kita sendiri tidak memiliki karakter tersebut. Tapi insya Allah kita sudah memiliki karakter tersebut dan kita ingin menularkan kepada masyarakat luas dalam rangka siyaghatu al-bina al-ijtima’i. Bagaimana menata masyarakat agar rukun dalam berumah tangga, rukun dengan tetangga, rukun antar partai, rukun antar golongan.

Bukankah kalau mereka rukun, mereka dapat mendayagunakan potensinya untuk disumbangkan ke masyarakat dan kepada umat manusia pada umumnya? Masyarakat harus bisa merasakan, bahwa kita ini terlibat dalam siyaghatu al-bina al-ijtima’i dan membela masyarakat.

Ketiga, bagaimana kita bisa terlibat dalam halul qadhaya al-ijtima’i (memberi solusi atas problematika masyarakat). Bagaimana kita terlibat dalam mencari solusi untuk problem kemasyarakatan, problem nasional, dan problem internasional.

Jika masyarakat sudah merasakan dan mengakui upaya dan keterlibatan kita dalam  siyaghatu al-bina al-ijtima’i (membentuk bangunan sosial), ri’ayah mashalih ijtima’iyah(memelihara kepentingan publik), sebagai sasaran pertama dalam pengelolaan jamahiri, maka otomatis masyarakat bukan hanya percaya kepada agenda kita, melainkan juga meningkat ke sasaran kedua: mendelegasikan wewenang memperjuangkan kepentingan mereka, nasib mereka, dan memperjuangkan cita-cita mereka. Bahkan kemudian akhirnya dukungan masyarakat itu meningkat lagi menjadi legitimasi politik / dukungan kepada kita.

Hal ini sangat penting sebagai kelanjutan terhadap dukungan kredibilitas moral yang kita miliki, disiplin normatif, kemampuan intelektual yang ideal rasional tapi realistis. Kalau sudah diakui seperti itu oleh masyarakat, insya Allah masyarakat akan sampai ke tingkat mem-back up legitimasi dukungan politik kepada kita.

Bila kita sudah mendapatkan back up legitimasi politik dari masyarakat, maka akan mampu meningkatkan kerja legislatif kita, yaitu mampu menjadikan nilai-nilai yang kita anut men-shibghah produk-produk legislatif berupa Perda, UU, dan tap MPR. Namun untuk itu kita memerlukan legitimasi dari jumhur masyarakat melalui suara atau pilihannya dalam pemilu. Jadi bukan hanya pujian-pujian kepada menara gading atau pohon bonsai, tapi berupa dukungan politik yang riil.

Jadi itulah kira-kira garis besar ri’ayah jamahiriyah (pemeliharaan masyarakat) kita. Kerjanya tiga hal dan yang kita inginkan juga ada tiga hal. Kerjanya melalui: siyaghatu al-bina al-ijtima’i (membentuk bangunan sosial), ri’ayah mashalih ijtima’iyah(memelihara kepentingan publik), dan halul qadhaya al-ijtima’i (memberi solusi atas problematika masyarakat). Hasilnya minimal ada tiga: mereka memberikan dukungan dan percaya kepada agenda-agenda kita, mendelegasikan kepada kita untuk memperjuangkan nasib, kepentingan, dan cita-cita mereka, serta memberikan back up politik bagi kita.

sumber :al-intima
09.07 | 0 komentar

Siapa “Orang Lain di Tengah Kita” Yang Dimaksud Anis Matta ?

 
Oleh : Arif Rahman

Januari lalu, tulisan Anis Matta berjudul “Orang Lain Di Tengah Kita” dimuat oleh portalpiyungan.com. Kabarnya tulisan ini cukup terkenal. Saya sendiri baru baca beberapa waktu setelah Fahri Hamzah dipecat dari PKS di semua level keanggotaan.

Tulisan Anis Matta ini menyoroti tentang penyusupan di tubuh harakah Islamiyah yang bisa saja terjadi. Beliau mengawali tulisannya dengan memberikan contoh yang terjadi di Mesir. Sayyid Quthb digantung oleh Jamal Abdul Nasser, seorang kader inti Ikhwanul Muslimin yang juga seorang perwira militer yang kemudian menjadi penguasa Mesir saat itu.

Lalu Anis melanjutkan dengan mengungkapkan bahwa ada fakta yang berulang kali terjadi, “Sebagian besar musibah yang menimpa da’wah dan harakah selalu datang dari dalam harakah itu sendiri. Untuk sebagiannya, musibah itu datang dari shaf yang terlalu longgar, yang kemudian tersusupi dengan mudah.” tulisnya.”Jangan pernah menyalahkan musuh jika mereka berhasil menyusupi shaf kita. Sebab penyusupan adalah pekerjaan yang wajar yang akan selalu dilakukan musuh.”

Kontrol Organisasi Da’wah

Anis Matta kemudian menguraikan bahwa organisasi da’wah harus mengontrol dua hal : gagasan dan orang. Anis Matta menuliskan, “Gagasan perlu dikontrol karena manhaj da’wah kita mengalami proses interaksi yang dinamis dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam organisasi dan pada lingkungan strategis. Kontrol bukanlah merupakan upaya penjegalan atas munculnya gagasan-gagasan baru. Kontrol dilakukan untuk memastikan bahwa proses kreativitas dan pengembangan pemikiran dalam da’wah berlangsung dengan panduan metodologi yang benar.”

Yang menarik setelah ini adalah kontrol orang. Sebab dalam kasus pemecatan Fahri berhembus kabar intelijen telah menyusup ke dalam PKS. Fahri sendiri yang berkoar-koar di media tentang ini. Menurut Anis Matta dalam tulisannya itu, seseorang bisa dirancang sebagai penyusup ke dalam da’wah, tapi bisa juga direkrut oleh ‘orang lain’ justru setelah ia bergabung dengan da’wah. “Proses rekrutmen bisa berlangsung melalui suatu rekayasa intelijen, tapi bisa juga terjadi secara natural melalui pergaulan sehari-hari. Dalam kondisi terakhir ini, seorang aktivis da’wah biasanya mengalami penyimpangan perilaku atau akhlak, larut dalam pergaulan, dan kemudian secara tidak sadar membawa ‘pesan’ orang lain tanpa sadar ke dalam da’wah.” Begitu tulis mantan presiden PKS pengganti Luthfi Hasan Ishaq ini.

Tulisan “Orang Lain di Tengah Kita” seolah menyiratkan apa yang sedang terjadi di tubuh PKS. Bahwa ada “orang lain” yang memang sedang menyusup ke tubuh partai da’wah ini. Bahkan ada twit yang menyebut inisial SHW sebagai penyusup dan menengarai SHW sebagai makelar kasus yang menimpa para petinggi PKS yang pernah menjabat sebagai menteri. Namun twit yang mengaitkan tulisan Anis Matta dengan kasus Fahri Hamzah ini jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan karena berasal dari akun anonim memakai nama @ronindonesia98.

Awalnya saya berpendapat ini bukan soal “Orang Lain di Tengah Kita”. Tetapi ini adalah soal pentingnya kesatuan sikap. Selama ini Fahri sering berseberangan dengan PKS. Sebut saja sikap PKS yang menolak kenaikan tunjangan DPR dan pejabat negara, Fahri malah berkoar ke media masih merasa kurang. Sebut lagi soal Setya Novanto maka kita akan melihat Fahri ngotot membela Novanto padahal PKS melarang membelanya.

Tetapi menarik menyimak tulisan Sapto Waluyo di selasar.com. Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform ini mengajak kita untuk menilai : “Para pengamat dan pewarta yang obyektif, silakan menilai: apa kepentingan Fahri di balik sikapnya yang ngototmendukung pembangunan gedung dan pemberian fasilitas anggota DPR RI, menerima revisi UU KPK, dan mendukung posisi Setya Novanto dalam skandal Freeport Gate serta menyerang MKD yang dipimpin sesama kader PKS (Surahman Hidayat)? Itu baru sebagian kecil dari sikap Fahri yang secara terbuka bertentangan dengan sikap PKS. Fahri tidak pernah bisa menjelaskan alasannya secara masuk akal, kecuali klaim bahwa ‘segala pernyataan dan sikapnya dilindungi konstitusi’. Narasi besar taat pada konstitusi negara dijadikan tameng Fahri untuk melecehkan AD/ART Partai. Padahal, silakan ditakar semua pernyataan dan sikap Fahri selama ini dari sisi: bobot konstitusionalitas dan kepentingan publiknya, seberapa besar? Tak ada yang tahu, karena Fahri juga tidak pernah memberikan laporan kepada Pimpinan PKS.”

Sikap berseberangannya Fahri ini dilanjutkan dengan sikap mbalelo atas panggilan demi panggilan yang dilancarkan oleh pimpinan PKS. Mangkir dari panggilan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seadanya. Sikap memandang enteng arahan pimpinan PKS ini dianggap Sapto menunjukkan bahwa Fahri sedang mendekonstruksi dirinya sendiri : tak ada loyalitas pada Partai dan Pimpinan Partai, tidak seorangpun yang dipercaya Fahri bisa mengarahkan dirinya; tidak Hilmi Aminuddin, tidak juga Salim Segaf. Patut dicatat, kedua tokoh senior PKS itu memberikan kesaksian dalam Majelis Tahkim yang diragukan legalitasnya oleh Fahri. Anis Matta memberikan keterangan tambahan di luar sidang MT.

Sapto menyebutkan bahwa watak asli Fahri terlihat saat menggugat PKS secara perdata di pengadilan negeri dengan tuntutan denda Rp 500 miliar untuk kerugian material dan immaterial. Untuk biaya pengacara, Fahri mencadangkan Rp 1 miliar. Bahkan, di saat proses mediasi disarankan Hakim PN Jaksel, Fahri menggugat tiga tokoh PKS (Sohibul Iman, Surahman Hidayat, dan Hidayat Nurwahid) ke MKD DPR RI (29/4/2016). Fahri benar-benar memanfaatkan posisi politik untuk mempertahankan kedudukan sebagai Wakil Ketua DPR RI dengan segala fasilitasnya, sambil menyerang orang-orang yang dipandang memusuhinya.

Fahri adalah “orang lain” ?

Melihat fenomena di atas, apakah Fahri adalah “orang lain di tengah kita” yang dimaksud Anis Matta ? Apakah Fahri yang dimaksud Anis Matta sebagai orang yang direkrut “orang lain” setelah ia bergabung dalam da’wah ? Apakah Fahri yang dimaksud sebagai kader yang secara tidak sadar membawa ‘pesan’ orang lain tanpa sadar ke dalam da’wah ?

Siapa “orang lain” di tengah kita sepertinya tidak perlu dijawab. Anis Matta sebenarnya sedang mengajak kader PKS berkontemplasi, jangan-jangan banyak kader yang “direkrut” secara tidak sadar mengalami penyimpangan perilaku atau akhlak, larut dalam pergaulan, dan kemudian secara tidak sadar membawa ‘pesan’ orang lain tanpa sadar ke dalam da’wah.

00.17 | 0 komentar

TAWADHU’ & KEBERKAHAN DAKWAH

Siapapun Anda yang datang berkunjung di Blog ini merupakan Inspirasi terbesar kami dalam berkarya untuk memberikan yang terbaik...Selamat Membaca...!!!
Foto Cyber Army PKS :: Cyber Activist Community ::.
Ketua MS PKS
 
Ustadz Dr. Salim Segaf Aljufrie
1. Mari kita berharap keberkahan Allah pada dakwah ini. Keberkahan itu datangnya dari keyakinan kita kepada Allah, bahwa semua kekuasaan/kemenangan/kekalahan itu terjadi atas kehendak Allah. Kita tidak sependapat dengan yang mengatakan bahwa konspirasi musuh menyebabkan kekalahan kita. Mau konspirasi apapun kalau Allah tidak berkehendak ya tidak akan terjadi. Mari kita melihat amal ini dengan pendekatan dakwah.
2. Evaluasi kita : kita tergiring secara tidak sadar menjadikan politik sebagai panglima. Lalu dakwah dan kaderisasi kita lupakan. Tolonglah slogan OBAH KABEH MUNDAK AKEH itu jangan dimaknai AKEH kursi dan suaranya. Tapi akeh dan mundak keberkahannya. dan itu dengan tetap menjadikan dakwah sebagai misi utama kita. Kursi itu bukan tujuan kita. Kalau kita pantas menerimanya Allah akan berikan. Saya membayangkan andai seluruh anggota dewan kita di indonesia ini di sebar merata ke desa desa yang ada di seluruh negeri. Lalu berdakwah, membina masyarakat dan kita punya kemampuan untuk itu. Insya allah keberkahan akan turun dengan cara itu. Tidak ada urusannya dapat kursi atau tidak.
3. Evaluasi kita : kita sering membuat target target yang sebenarnya tau itu diluar kemampuan kita. Lalu kita terjebak dengan cara cara yang jauh dari keberkahan untuk memaksakan mencapai target itu. Mengumpulkan dana dana syubhat. Bergantung pada konglomerat anu. konglomerat itu. Proyek ini itu.dst. Sekian suara harganya sekian M. Lalu dimana nilai keberkahan dakwah ini? begitu juga dengan perilaku politik kita yang kadang menyalahi sunnatullah. Begadang sampai hampir pagi menjaga suara. Toh tetap jebol juga. Apakah kita ini lebih sibuk dari Rasulullah? beliau selalu tertib dalam hal tidur dan bangun pagi. Di malam hari beliau serahkan dakwah di tangan Allah. Beliau tidur dan qiyamullail. Sesekali bolehlah begadang. Tapi kalau menjadi politic style kita itu sudah salah.
4. Allah hanya ingin kita ini bekerja semaksimal kemampuan kita. Laa yukallifullahu nafsan illa wus’ahaa. Tidak perlu memaksakan pola pola dan cara cara yang diluar kemampuan kita. Jokowi itu sebenarnya contoh dari Allah, bahwa ketika Allah berkehendak, dengan dana pencitraan orang bisa mendapatkan kekuasaan dan Allah juga yang berkuasa menjatuhkannya. Jadi, mari kita semakin tawadhu’ dihadapan Allah. Semakin kita tawadhu’ dan merasa butuh pertolongan-Nya, maka pertolongan akan mendekat. Jangan terlalu ngoyo menampakkaan bahwa kita ini punya kekuatan. Semakin kita berpikir kita punya kekuatan, lalu melupakan Allah, maka justru pertolongan semakin menjauh. (dalam konteks ini, Ust salim menyebut stagnannya suara PKS dari PEMILU ke PEMILU)
5. Itulah sebabnya para ulama mengajari kita doa : Allahummarzuqnaa ma’rifatan yas habuha bil adabi. Ya Allah beri kami ma’rifat kepadamu, yang diiringi dengan adab terhadap-Mu. Kita mengenal Allah tapi kita tidak punya adab dan sopan santun terhadap-Nya. Lalu kita merasa sudah punya kekuatan.dan mulai melupakan-Nya. Ini namanya kita tidak beradab dan sopan santun terhadap Allah.
6. Jangan juga gara gara jabatan politik lantas life style dan perilaku kita berubah. Terbiasa dilayani. Kesenggol dikit marah marah dimana mana seolah ingin menunjukkan kita ini kuat. Kita lupa berapa ton nikmat Allah yang sudah kita makan melalui mulut kita. Mari jadi orang yang biasa biasa saja. dan mengingat bahwa semua ini pemberian Allah yang tidak akan kekal.
7. Pada akhirnya mari memperbanyak dzikrullah. Imam ali berkata :: inna lillahi fil ardhi aaniyatun wa huwa al qolbu. Sesungguhnya Allah itu memiliki tempat di bumi, yaitu dalam hati kita. kita ini standar nya ma’tsurot sughro. Itupun masih suka nanya : ada yang lebih sughro lagi nggak tadz? insya Allah dengan dzikir yang banyak itu keberkahan akan turun.
Wallahu Al musta’aan. (mujahidullah) 
23.09 | 0 komentar

Berpulang ke Ar-Rafiq Al-A’la

MadinahPada hari itu, 12 Rabi’ul Awwal 11 H / 6 Juni 632 M, Madinah berduka. Manusia agung Pembawa Risalah itu telah berpulang keharibaan kekasihnya Yang Maha Tinggi.

Ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa dia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pulang kepadaku pada hari itu, beliau masuk dari arah masjid, lalu berbaring di pangkuanku. Selanjutnya, masuklah ke rumahku seorang lelaki dari keluarga Abu Bakar dengan menggenggam sebatang siwak yang masih hijau. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memandang tangan orang itu dengan suatu pandangan yang dapat aku mengerti bahwa beliau menginginkan siwak itu. Aku pun bertanya, “Ya Rasul Allah, apakah engkau ingin kuberi siwak ini?”

“Ya,” jawab beliau.

Siwak itu pun aku ambil, lalu aku kunyahkan untuk beliau sampai lunak, kemudian aku berikan kepada beliau.

Beliau pun lalu menggunakan siwak itu kuat-kuat, tak pernah sama sekali aku melihat beliau menggunakan siwak sekuat waktu itu, kemudian siwak itu beliau letakkan. Aku merasakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam semakin berat pada pangkuanku. Aku pun beranjak melihat wajahnya, tiba-tiba mata beliau menatap tajam seraya mengucapkan, “Bahkan (aku memilih) ar-Rafiq al-A’la dalam surga.”

Aku pun berkata, “Engkau telah disuruh memilih, maka engkau pun memilih, demi Allah Yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran.”

“Akhirnya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun meninggal,” demikian kata Aisyah mengakhiri riwayatnya.

Sumber: Manhaj Haraki, Syaikh Munir Muhammad Ghadban, Rabbani Press.
18.31 | 0 komentar

MSI: Berkhidmat Adalah Gen Kader PKS

Presiden PKS Sohibul Iman menegaskan bahwa (semangat) berkhidmat adalah gen PKS. Ia sudah menjadi bagian inhern dalam diri kader PKS selama ini. Dimulai sejak gerakan dakwah ini belum menjadi partai belasan tahun yang lalu. Hal ini Sohibul Iman sampaikan dalam arahannya di Rakorwil DPW PKS Riau di Aula hotel Mutiara Merdeka Pekanbaru, Ahad (14/2) siang.

Kerja kerja kader PKS selama ini menunjukkan hal itu. "Dakwah yang telah kita lakukan selama ini dan pelayanan kepada masyarakat yang telah lama kita lakukan menunjukkan hal itu," ujar pria yang juga dikenal dengan MSI ini.

MSI juga mengatakan bahwa berkhidmat kepada masyarakat bukanlah hal baru bagi kader PKS. "Mari berkhidmat kepada masyarakat dan bangsa ini setiap saat, sepanjang hayat," ajak MSI yang disambut takbir sekitar seribu kader yang memadati aula.

MSI juga menjelaskan bahwa ada tiga dimensi dalam berkhidmat. Yaitu pelayanan, pemberdayaan dan advokasi (pembelaan). Yang terakhir adalah khidmat paling optimal dan bisa dilakukan PKS sebagai parpol.

Keterangan Foto: Presiden PKS Sohibul Iman
 sumber
08.37 | 0 komentar

Habib Salim Segaf al-Jufri: Kita Ini Dai, Bukan Hakim!

Maraknya kelompok yang mengaku paling benar dan menyalahkan orang lain merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan di negeri ini. Diperparah dengan munculnya banyak aliran sesat yang menghina sahabat Nabi, memunculkan Nabi baru, dan lain sebagainya.

Keprihatinan inilah yang melatarbelakangi Dr Habib Salim Segaf al-Jufri untuk angkat bicara. Dengan nada yang santun dan menyejukkan hati, beliau menyampaikan ceramah singkat tentang tugas kita yang utama; sebagai dai, bukan hakim!

Berikut transkripnya sebagaimana dirilis oleh AlimanCenter.TV
“Saya sudah menjelaskan, nahnu du’atun la qudhatun, antum (Anda) itu sebagai dai, bukan hakim yang mengadili masyarakat.

Jadi, paham ya?

Dai itu kerjanya apa? Mengajak. Kalau ada yang sesat, diajak. Itu namanya dai. Tapi kalau kita sudah memposisikan sebagai hakim, itu persoalannya sudah berbeda.

Kalau posisi hakim ini, “Ini kafir. Ini musyrik. Ini fil jannah (masuk ke dalam surga). Ini fi jahannam (masuk ke dalam neraka jahannam).” Itu namanya qadhi, hakim.

Tapi antum sebagai dai. Ud’u sabili rabbika (ajaklah ke jalan Rabbmu). Kalau yang kurang paham, ya dialog, diajak.

Kalau menjelek-jelekkan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu? Saya sudah jelaskan. (Menjelek-jelekkan sesama) muslim saja sudah gak benar, apalagi (menjelek-jelekkan) sahabat Nabi!

Kalau sudah menjelek-jelekkan itu, dia sudah memposisikan sebagai apa? Dai atau hakim?
Antum bisa menjawab gak? Kalau menjelek-jelekkan, mengatakan ini-itu, dia hakim atau dai? Dia hakim.

Kerja dai itu berbeda. Kerja dai itu mengajak. Meluruskan. Yang sesat diajak dengan cara yang bagus. Masalah nanti dapat hidayah atau tidak dapat hidayah, itu urusan lain. Bukan di tangan kita.
Tapi yang penting, negara juga hadir. Ini penting juga. Negara itu harus hadir.

Adanya agama untuk membuat masyarakat menjadi tenang. Saya berharap, di setiap agama ada lembaga yang menjadi reference, rujukan.

Kita di Indonesia ada sekian banyak agama. Nanti kan muncul, agama ini, agama itu. Nah, (kalau ada rujukannya bisa dilihat) benar gak agama tersebut?

Sebab ada juga di daerah-daerah, orang shalat tidak membaca bismillah, tapi menggunakan terjemahan. Ada juga kan? Pernah dengar kan?

(Lalu) muncul atau ada Nabi baru, atau ada ini (ajaran) baru. Di sinilah negara harus hadir.
Di situ pentingnya (kehadiran negara). Ulama pun mempunyai rujukan, apakah MUI (Majlis Ulama Indonesia), atau apa, yang menjadi rujukan; mana yang benar dan mana yang tidak benar.

Tetapi sebagai orang umum, sebagai masyarakat, nahnu du’atun la qudhatun; kita itu dai, bukan hakim.”

Wallahu a’lam. [Pirman/BersamaDakwah]
06.05 | 0 komentar

Mereka,, yang " Berkhidmat Untuk Rakyat " ( Poso)

Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera Kab. Poso baru-baru ini menyelesaikan RAKERDA dalam upaya merancang Strategi Pemenangan satu tahun kedepan yang biasa di Istilahkan RKT ( Renacana Kerja Tahunan ), dalam kesempatan ini di hadiri oleh Bapak. Ir. T. Samsuri, M.Si selaku wakil bupati terpilih dalam pilkada serentak yang juga merupakan salah satu kandidat yang di usung oleh PKS Poso,,,,

Adapun yang membuka acara adalah Ust. Muhammad Wahyudin selaku wakil Ketua Umum DPW PKS Sulteng, dalam sambutannya lebih menitik beratkan pada konsolidasi kader dalam upaya memperkuat basis-basis di masyarakat dan pencapaian target pemenangan secara Nasional,,,,

Pada kesempatan itu pula di  lakukan Pelantikan Pengurus baru DPD PKS Kab. Poso Masa Khidmat 2015 - 2020, adapun Susunan Pengurus Sbb :






STRUKTUR KEPENGURUSAN
PARTAI KEADILAN SEJAHTERA KABUPATEN POSO
PERIODE 2015 – 2020



1.      Ketua Umum              : H.Usman Abdul Karim
2.      Wakil Ketua                : Arianto Ruslan
3.      Sekretaris Umum        : Muhammad Zakaria Laasi
4.      Wakil Sekretaris          : H.Arsyad Abdullah, BcHK
5.      Bendahara Umum       : Lisdawati

6.      Bidang Kaderisasi
          Ketua                    : Zainal Arifin
Sekretaris              : Tuti Utami, S.Pd


7.      Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga
         Ketua                    : Siti Rahmawati 
Sekretaris              : Marlia Lamusu
Anggota                  Nana Ardiana
                      
8.      Bidang Kepemudaan
           Ketua                    : Ari Junaedi

9.      Bidang Politik Hukam dan Keamanan
       Ketua                    : Drs.H.Amir Kusa
          Sekretaris              : Nuraini Yuta            
           Bagian Pemberdayaan Jaringan Usaha dan Ekonomi Kader
       Ketua                    : Tugino Tigin Harianto

       Bagian Kesejahteraan Rakyat
 Ketua                    : Fauziah, S.Pd

Selamat menjalankan Amanah dalam upaya Berkhidmat untuk Rakyat 
  

01.48 | 1 komentar

Beramal Islami di Dalam dan Melalui Jamaah

Anis Matta
Walaupun satu keluarga kami tak saling mengenal
Himpunlah daun-daun yang berhamburan ini
Hidupkan lagi ajaran saling mencintai
Ajari lagi kami berkhidmat seperti dulu

M. Iqbal

Itulah beberapa bait dari sajak doa iqbal. Mungkin batinnya menjerit pada kesaksiannya atas zamannya: umat ini seperti daun daun yang berhamburan. Seperti daun daun yang gugur diterpa angin, tak ada lagi kekuatan yang dapat menghimpunnya kembali, menatanya seperti ketika ia masih menggayut pada pohonnya.
Begitulah kenyataan umat ini: mungkin banyak orang salih diantara mereka, tapi semuanya seperti daun-daun yang berhamburan, tidak terhimpun dalam sebuah wadah bernama jamaah, mereka hilang diterpa angin zaman. Mungkin banyak potensi yang tersimpan pada individu-individu diantara mereka, tapi semuanya berserakan di sana sini, tak terhimpun.
Maka, jamaah adalah alat yang diberikan Islam bagi umatnya untuk menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, supaya padu dengan kekuatan setiap orang shalih, orang hebat atau satu potensi bertemu pada dengan kekuatan saudaranya yang lain, yang sama shalihnya, yang sama hebatnya, yang sama potensialnya.

Jamaah juga merupakan cara yang paling tepat untuk menyederhanakan perbedaan-perbedaan individu. Di dalam satu jamaah, individu-individu yang mempunyai kemiripan disatukan dalam sebuah simpul. Maka, meskipun ada banyak jamaah, itu tetap lebih baik dari pada tidak sama sekali. Bagaimanapun, jauh lebih mudah memetakan orang banyak melalui pengelompokan atau simpul-simpulnya, ketimbang harus memetakan mereka sebagai individu.
Maka jalan panjang menuju kebangkitan umat ini harus dimulai dari menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, merajut kembali jalinan cinta diantara mereka, menyatukan potensi dan kekuatan mereka, kemudian meledakkannya pada momentum sejarahnya, menjadi pohon peradaban yang teduh, yang menaungi kemanusiaan.

Tapi, itulah masalahnya. Ternyata, itu bukan pekerjaan yang mudah; ternyata, cinta tidak mudah ditumbuhkan diantara mereka; ternyata, orang shalih tidak mudah disatukan; ternyata, orang hebat tidak selalu bersedia menyatu dengan orang hebat yang lain. Mungkin itu sebabnya, ada ungkapan di kalangan gangster mafia: seorang prajurit yang bodoh, kadang-kadang lebih berguna daripada dua orang jenderal yang hebat. Namun, tidak ada jalan lain. Nabi umat ini tidak akan pernah memaafkan setiap orang diantara kita yang meninggalkan jama'ah, semata-mata karena ia tidak menemukan kecocokan bersama orang lain dalam jama'ahnya. Bagaimanapun, kekeruhan jama'ah, kata imam Ali bin Abi thalib r.a jauh lebih baik dari pada kejernihan individu.

Dari Individu ke Jamaah
Orang-orang shalih diantara kita harus menyadari bahwa tidak banyak yang ia berikan atau sumbangkan untuk Islam kecuali kalau ia bekerja di dalam dan melalui jama'ah. Mereka tidak dapat menolak fakta bahwa tidak ada orang yang dapat mempertahankan hidupnya tanpa bantuan orang lain; bahwa tidak pernah ada orang yang dapat melakukan segalanya atau menjadi segalanya; bahwa kecerdasan individual tidak pernah dapat mengalahkan kecerdasan kolektif. Bekerja di dalam dan melalui jamaah tidak hanya terkait dengan fitrah sosial kita, tapi terutama terkait dengan kebutuhan kita untuk menjadi lebih efisien, efektif, dan produktif.

Ada juga alasan lain. Kita hidup dalam sebuah zaman yang oleh ahli-ahlinya dicirikan sebagai masyarakat jaringan, masyarakat organisasi. Semua aktivitas manusia dilakukan didalam dan melalui organisasi; pemerintahan, politik, militer, bisnis, kegiatan sosial kemanusiaan, rumah tangga, hiburan, dan lain-lain. Itu merupakan kata kunci yang menjelaskan, mengapa masyarakat modern menjadi sangat efektif, efisien dan produktif.

Masyarakat modern bekerja dengan kesadaran bahwa keterbatasan-keterbatasan yang ada pada setiap individu sesungguhnya dapat dihilangkan dengan mengisi keterbatasan mereka itu dengan kekuatan-kekuatan yang ada pada individu-individu yang lain.

Jadi kebutuhan setiap individu muslim untuk bekerja atau beramal Islami di dalam dan melalui jama'ah, bukan saja lahir dari kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan produktivitasnya, tapi juga lahir dari kebutuhan untuk bekerja dan beramal Islami pada level yang setara dengan tantangan zaman kita.

Musuh-musuh kita mengelola dan mengorganisasi pekerjaan-pekerjaan mereka dengan rapi, sementara kita bekerja sendiri-sendiri tanpa organisasi, dan kalau ada biasanya tanpa manajemen.

Pilihan untuk bekerja dan beramal Islami di dalam dan melalui jama'ah, hanya lahir dari kesadaran mendalam seperti ini. Namun, kesadaran ini saja tidak cukup. Ada persyaratan psikologis lain yang harus kita miliki untuk dapat bekerja lebih efektif, efisien, dan produktif dalam kehidupan berjama'ah.

1. Kesadaran bahwa kita hanyalah bagian dari fungsi pencapaian tujuan. Jama'ah didirikan untuk mencapai tujuan-tujuan besar: jama'ah bekerja dengan sebuah perencanaan dan strategi yang komprehensif dan integral. Di dalam strategi besar itu, individu harus ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan elemen yang diperlukan untuk mencapainya.

Jadi, sehebat apapun seorang individu, bahkan sebesar apapun kontribusinya, dia tidak boleh merasa lebih besar dari pada strategi dimana ia merupakan salah satu bagiannya. Begitu ada individu yang merasa lebih besar dari strategi jama'ah, strategi itu akan berantakan. Untuk itu, setiap individu harus memiliki kerendahan hati yang tulus.
2. Semangat memberi yang mengalahkan semangat menerima. Dalam kehidupan berjama'ah terjadi proses memberi dan menerima. Namun, jika pada sebagian besar proses kita selalu pada posisi menerima, secara perlahan kita "mengonsumsi" kebaikan-kebaikan orang lain hingga habis. Itu tidak akan pernah mampu melanggengkan hubungan individu dalam sebuah jama'ah. Betapa bijak nasihat KH. Ahmad Dahlan kepada warga Muhammadiyah, "Hidup-hidupkanlah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah."
3. Kesiapan untuk menjadi tentara yang kreatif. Pusat stabilitas dalam jama'ah adalah kepemimpinan yang kuat. Namun, seorang pemimpin hanya akan menjadi efektif apabila ia mempunyai prajurit-prajurit yang taat dan setia. Ketaatan dan kesetiaan adalah inti keprajuritan. Begitu kita bergabung dalam sebuah jama'ah, kita harus bersiap untuk menjadi taat dan setia. Akan tetapi, ruang lingkup amal Islami yang sangat luas membutuhkan manusia-manusia kreatif, dan kreativitas tidak bertentangan dengan ketaatan dan kesetiaan. Jadi, kita harus menggabungkan ketaatan dan kreativitas; ketaatan lahir dari kedisiplinan dan komitmen, sementara kreativitas lahir dari kecerdasan dan kelincahan. Hal itu merupakan perpaduan yang indah.

4. Berorientasi pada karya, bukan pada posisi. Jebakan terbesar yang dapat menjerumuskan kita dalam kehidupan berjama'ah adalah posisi struktural. Jama'ah hanyalah wadah bagi kita untuk beramal. Maka kita harus selalu berorientasi pada amal dan karya yang menjadi tujuan utama kita berjama'ah, dan memandang posisi struktural sebagai perkara sampingan saja. Dengan begitu, kita akan selalu bekerja dan berkarya, ada atau tanpa posisi struktural.
5. Bekerjasama walaupun berbeda. Perbedaan adalah tabiat kehidupan yang tidak dapat dimatikan oleh jama'ah. Maka, menjadi hal yang salah jika berharap bisa hidup dalam sebuah jama'ah yang bebas dari perbedaan. Yang harus kita tumbuhkan adalah kemampuan jiwa dan kelapangan dada untuk tetap bekerja sama dengan perpecahan dan karena itu kita tetap dapat bersatu walaupun kita berbeda.
Jamaah yang Efektif
Mungkin jauh lebih realistis untuk mencari jama'ah yang efektif ketimbang mencari jama'ah yang ideal. Kita adalah umat yang sakit. Setiap kita mewarisi kadar tertentu dari penyakit tersebut. Jika orang-orang sakit itu sering bertemu dalam sebuah jama'ah, pada dasarnya jama'ah itu juga merupakan jama'ah yang sakit. Itulah faktanya. Namun, tugas kita adalah menyalakan lilin, bukan mencela kegelapan.
Jama'ah yang efektif adalah jama'ah yang dapat mengeksekusi atau merealisasikan rencana-rencanaya. Kemampuan eksekusi itu lahir dari integrasi antara berbagi elemen: ada sasaran dan target yang jelas, strategi yang tepat, sarana pendukung yang memadai, pelaku yang bekerja dengan penuh semangat, dan lingkungan strategi yang kondusif. Jama'ah yang didirikan untuk kepentingan menegakkan syariat Allah di muka bumi akan menjadi efektif apabila ia memililki syarat-syarat berikut ini:
1. Ikatan akidah, bukan kepentingan. Orang-orang yang bergabung dalam jama'ah itu disatukan oleh ikatan akidah, dipersaudarakan oleh iman, dan bekerja untuk kepentingan Islam. Mereka tidak disatukan oleh kepentingan duniawi yang biasanya lahir dari syahwat; keserakahan (hubbud dunya) dan ketakutan (karahiatul maut).
2. Jama'ah itu sarana bukan tujuan. Jama'ah itu tetap diposisikan sebagai sarana, bukan tujuan, sehingga tidak ada alasan untuk memupuk dan memelihara fanatisme sekedar untuk menunjukkan kesetiaan pada jama'ah. Hilangnya fanatisme juga memungkinkan jama'ah-jama'ah itu saling bekerja sama diantara mereka, membangun jaringan yang kuat, dan tidak terjebak dalam pertarungan yang saling mematikan.

3. Sistem, bukan tokoh. Jama'ah itu akan menjadi efektif jika orang-orang yang ada di dalamnya bekerja dengan sebuah sistem yang jelas, bukan bekerja dengan seseorang yang berfungsi sebagai sistem. Pemimpin dan prajurit hanyalah bagian dari strategi, sistem adalah sesuatu yang terpisah. Dengan cara ini, kita mencegah munculnya diktatorisme, di mana selera sang pemimpin menjelma menjadi sistem.
4. Penumbuhan, bukan pemanfaatan. Sebuah jamaah akan menjadi efektif jika ia memandang dan menempatkan orang -orang yang tergabung ke dalamnya sebagi pelaku-pelaku, yang karenanya perlu ditumbuh-kembangkan secara terus menerus, untuk fungsi pencapaian tujuan jama'ah itu. Jama'ah itu akan menempatkan dirinya sebagai fasilitator bagi perkembangan kreativitas individunya, dan tidak memandang mereka sebagai pembantu-pembantu yang harus dipaksa bekerja keras, atau sapi-sapi dungu yang harus diperah setiap saat.

5. Mengelola perbedaan, bukan mematikannya. Jama'ah yang efektif selalu mampu mengubah keragaman menjadi sumber kreativitas kolektifnya, dan itu dilakukan melalui mekanisme syura yang dapat memfasilitasi setiap perbedaan untuk diubah menjadi konsensus.

Anis Matta
Sumber: Buku 'Dari Gerakan ke Negara'
 
18.53 | 0 komentar

KIPRAH KEWANITAAN

GALLERY FOTO

Cari Artikel di Sini

Counters


Categories