Assalamu Alaikum, Selamat Datang Saudaraku  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Ahdaful Musyarokah

Ustadz Hilmi Aminuddin

Sejak awal, musyarokah kita—keterlibatan kita dalam pemerintahan—sama sekali bukan ditujukan untuk kemenangan zhahir saja yang cenderung diisi dengan al-kibr dan al-kibriya’, merasa besar dan sombong.

Kita bermusyarokah untuk mencapai kemenangan sejati, yang didefinisikan oleh Imam Ahmad ibnu Hanbal:

ما لازم الحق قلوبنا

Kemenangan sejati yang paling mendasar dan substansial adalah jika kebenaran tetap bersemayam di hati kita. Tidak terkontaminasi oleh racun-racun kehidupan, tidak tergoda oleh iming-iming apapun bentuknya, yang membuat hati kita diisi oleh nilai-nilai lain selain nilai kebenaran yang bersumber dari Allah SWT.

Kemenangan sejati juga adalah jika kita berhasil menegakkan kedaulatan Allah di dalam diri kita. Berhasil menegakkan kedaulatan Allah di dalam keluarga kita. Berhasil menegakkan kedaulatan Allah di rumah kita, di bangsa kita dan di negeri kita. Sehingga orientasi hidup bangsa kita adalah mardhotllah, ridho Allah semata.

Oleh karena itu pertama-tama yang harus kita pastikan adalah ahdaful musyarokah (tujuan-tujuan musyarokah) kita. Jangan sampai berpesong sedikitpun.

Al-Musyarokah littauhiid wal binaa’ ( المشاركة للتوحيد والبناء )

Musyarokah kita bertujuan untuk berkontribusi dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkontribusi untuk membangun bangsa dan negara ini sehingga mencapai kesejahteraan, kejayaan serta kedamaian dengan bangsa-bangsa lain dalam pergaulan internasional. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Persatuan dan kesatuan bangsa ini jangan sampai dirongrong, dirusak, dicerai-beraikan oleh agenda-agenda yang diprogram dari luar yang menghendaki perpecahan. Kita harus menjadi junudullah (prajurit-prajurit Allah) terdepan dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa dan negeri ini. Karena negeri ini adalah anugerah besar dari Allah—ba’da al-iman, setelah iman—yang harus kita syukuri dengan memberdayakan, menjayakan dan mengunggulkannya. Sehingga mampu memberi kontribusi positif dalam pergaulan antar bangsa dalam kehidupan global.

Al-Musyarokah littaqwiyah wat tatsbit ( المشاركة للتقوية والتثبيت )

Selain mempersatukan dan membangun, berdaya kohesif dan menjadi penerus pembangunan bangsa dan negara ini, musyarokah kita juga harus berkontribusi dalam mewujudkan negara yang kuat dan kokoh. Jangan menjadi negeri yang dilecehkan dan dideskreditkan tetangga-tetangganya. Jangan menjadi negara dan bangsa yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain, bahkan menjadi beban dalam pergaulan internasional.

Untuk menjadi factor taqwiyah wa tastbit, memperkuat dan mengokohkan kehidupan berbangsa dan bernegara ini, modalnya hanya satu: bersyukur! Negeri ini menghendaki para kader, pemimpin, pejuang, dan mujahid yang pandai bersyukur. Allah sudah memberikan banyak sekali karunia-Nya kepada negeri ini. Namun banyak potensi yang belum terolah, sehingga terbengkalai dan mubadzir. Bahkan banyak potensi yang diekploitasi oleh kekuatan-kekuatan asing. Ini karena kelemahan dan kebodohan kita, terjebak oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok, sehingga kekayaan yang diberikan oleh Allah ini tergadaikan kepada negeri asing dengan amat sangat murah.

Kita harus waspada dan berani mengevaluasi kebijakan-kebijakan lama yang menyiksa bangsa ini. Berani mengevaluasi seluruh produk-produk konstitusi, perundang-undangan, perda-perda, perjanjian-perjanjian dengan luar negeri yang melemahkan bangsa ini, yang menjadikan bangsa ini terpuruk. Kekayaan melimpah ruah, bukan dinikmati oleh rakyat. Tapi hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu. Bahkan mengalir setiap hari ke negeri-negeri asing. Bukan dalam kerjasama yang saling menguntungkan. Tapi kerjasama yang timpang yang mengandung unsur pelecehan, penipuan, dan konspirasi kepada bangsa ini. Semua ini harus dihentikan.

Al-Musyarokah lit taghyiir wat tajdiid ( المشاركة للتغيير و التجديد )

Kita tidak ingin bangsa ini statis, jumud dan mandeg. Oleh karena itu tujuan musyarokah kita yang ketiga adalah al-musyarokah lit taghyiir wat tajdiid. Musyarokah kita, kontribusi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah melakukan perubahan dan pembaharuan.

Setiap hari Allah SWT memberikan pelajaran kepada kita bagaimana ciptaan-ciptaannya selalu berubah dan memperbaharui diri. Selalu tumbuh dan berkembang. Lahirnya seorang anak dimulai dengan jeritan tangis yang merupakan symbol kehidupan dan mulai berfungsinya organ-organ utama tubuh, terutama paru-paru dan jantung. Mula-mula matapun tidak bisa melihat, tulang-tulangnya lembek dan lemah. Tapi dari hari ke hari kita lihat matanya semakin berbinar terang. Pertama-tama yang ia tahu hanya ibunya. Kemudian akhirnya mulai bisa tahu ayahnya. Berkembang mulai bisa membedakan warna dan ukuran-ukuran. Bahkan membedakan manfaat-manfaat. Dan mulai bisa membedakan mana yang berbahaya dan mana yang tidak.

Kita lihat pertumbuhan biji-bijian. Biji-biji mulai terbelah merekah, memunculkan tumbuhan kecil. Lalu akarnya menghunjam ke tanah secara bertahap. Sementara batang pohonnya mulai tumbuh berkembang. Berdahan rindang, berdaun hijau, akhirnya berbuah menjadi bermanfaat. Seluruhnya adalah merupakan at-taghyiir wat tajdiid.

Daun-daun yang sudah tua, menguning dan rontok. Tumbuhlah daun-daun muda berkembang menghijau. At-taghyiir wat tajdiid adalah sunnatullah. Kalau bangsa ini tidak mau berubah, statis, dan mandeg, berarti bangsa ini melawan sunnatullah. Kita kader-kader dakwah harus mendorong agar bangsa ini mengikuti sunnatullah. Mengikuti fitrahnya yaitu fitrah perubahan dan pembaharuan.

Semuanya harus berubah, mustahil tidak berubah. Jika tidak mau berubah, dia akan menjadi korban perubahan. Akan digilas oleh perubahan. Makanya kalau kita tidak mau menjadi korban perubahan, kita harus menjadi pelopor perubahan dan pembaharuan.

Semangat perubahan dan pembaharuan adalah bagian penting dari gerakan dakwah. Dari sejak awal dalam manhaj takwiniyah kita tekankan bahwa harakatud dakwah (gerakan dakwah) adalah harakatut taghyiir (gerakan perubahan) dan harakatut tajdiid (gerakan pembaharuan). Kader-kader dakwah harus menjadi :

رُوْحٌ جَدِيْدَةٌ تَسْرِي فِي جَسَدِ الأُمَّةِ

Menjadi jiwa, semangat, moral baru, dan kekuatan baru yang mengalir di tubuh umat ini. Kita harus menjadi innovator perubahan dan pembaharuan di segala sector kehidupan. Jangan sampai bangsa ini tertinggal akibat segan berubah karena malas. Atau bahkan takut berubah, akibat mempertahankan kepentingan-kepentingan pribadi atau kepentingan-kepentingan kelompok/golongan. Karena perubahan dan pembaharuan berarti dinamisasi. Perubahan dan pembaharuan berarti repositioning segenap potensi bangsa.

Dengan musyarokah ini kita melakukan redinamisasi repositioning kita; politik, social, financial, budaya, sains dan teknologi. Kita harus mencapai posisi-posisi baru yang lebih maju, berdaya guna, dan berdaya saing. Juga lebih memberikan manfaat, bukan saja kepada bangsa ini, tapi juga bermanfaat kepada kemanusiaan. Karena bangsa muslim ini mengemban misi utama rahmatan lil’alamin.

Al-Musyarokah lil ishlah wal ihsan ( المشاركة للإصلاح والإحسان )

Karena kita mengemban misi rahmatan lil’alamin, maka musyarokah pun tujuannya adalah berkontribusi untuk selalu ishlah (melakukan reformasi). Ishlah berarti perbaikan dan selalu mengajak damai.

Musyarokah lil ishlah wal ihsan baru bisa kita gulirkan, kalau kita professional. Mempunyai kafaah muntijah (kesalehan kompetensi dan kemampuan produktif ) dan kafaah ijaabiyah (potensi dan kompentensi yang positif).

Kader-kader kita harus menjadi kader-kader unggulan di tengah-tengah pergaulan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tafawwuq ma’nawiy berbasiskan tafawwuq iimaniiy, keunggulan moral berbasiskan keunggulan iman. Tafawwuq fikri berbasiskan tafawwuq ‘ilmi, keunggulan idealisme berdasarkan keunggulan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Begitu juga tafawwuq ‘amaliy berdasarkan tafawwuq manhajiy, keunggulan dalam aktivitas berdasarkan keunggulan metode kerja. Sehingga seluruh lapisan masyarakat mendapatkan sentuhan ishlah wal ihsan dari kita. Seluruh lapisan masyarakat, segenap komponen bangsa, lintas partai, lintas ormas, lintas agama, lintas keyakinan, lintas suku, lintas pulau-pulau yang bertebaran beribu-ribu ini merasakan khuthuwat ishlahiyah dan khuthuwaat ihsaniyah kita.

Al-Musyarokah lit taqwiim wat tasydiid ( المشاركة للتقويم والتسديد )

Musyarokah kita bertujuan untuk berkontribusi dalam meluruskan dan mengakuratkan tujuan hidup dan perjuangan bangsa ini. Agar bangsa ini tidak menyimpang dari tujuan utamanya.

Allah memerintahkan kepada kita agar kita lurus, sesuai dengan fitrah diciptakannya.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (الروم : ٣٠

Tidak ada bangsa atau umat atau bahkan makhluk yang bisa hidup baik, tenang, tentram dan sejahtera kecuali harus lurus dalam fitrahnya. Nilai-nilai fitrah ini adalah nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Al-Qur’an mengokohkannya dengan nilai-nilai syar’iyyah.

Sebagai kader dakwah kita harus selalu waspada terhadap kemungkinan berbagai penyimpangan, penyimpangan diri dan penyimpangan di tengah-tengah umat dan bangsa ini. Kita harus menjadi unsur muqawwim (yang meluruskan) wat tasdiid (mengarahkan) agar bangsa ini jangan disorientasi.

Seluruh kader dakwah ini harus berusaha dan mampu mengkonsolidasi, mengkoordinasi, dan memobilisasi seluruh potensi positif konstruktif di dalam bangsa ini. Siapapun mereka, partai apapun mereka, ormas apapun mereka dan agama apapun mereka, suku bangsa apapun mereka. Penghuni pulau manapun mereka. Kita harus mampu melihat potensi positif dan konstruktif untuk membangun bangsa ini mencapai kesejahteraan, kedamaian dan kejayaannya.

Selain itu kita harus selalu berupaya untuk mempersempit ruang gerak, perilaku, dan peran potensi negative destruktif. Agar kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak terprovokasi, terpecah belah, terlemahkan, terkecoh , tergadaikan, bahkan terjual oleh potensi negative destruktif itu. Sehingga kehidupan bangsa kita tetap bersatu, damai, tentram dan bersemangat untuk kerja keras mencapai tujuan-tujuan nasional, yaitu menjadi bangsa dan Negara yang diridhai oleh Allah SWT.

Sejak awal, ikhwan dan akhwat digembleng diantaranya untuk misi amar ma’ruf nahi munkar. Dalam musyarokah lit taqwiim wat tasdiid inilah peran amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dimanapun antum berada. Apakah di lembaga legislative, lembaga eksekutif atau yudikatif. Dalam mengelola jama’ah, kehidupan bermasyarakat, lembaga-lembaga social, pendidikan, kebudayaan, dan perekonomian. Tetap taqwim dan tasdiid adalah merupakan refleksi dari misi amar ma’ruf nahi munkar kita.


*)http://al-intima.com/taujih-ust-hilmi-aminuddin/ahdaful-musyarokah
23.38 | 0 komentar

Ramadhan dan "Penampakan"

Dalam satu sesi kajian menjelang Ramadhan, ada seorang yang menyampaikan pertanyaan menarik. "Ustad, katanya di Ramadhan semua setan dibelenggu? Berarti tidak ada lagi penampakan di bulan Ramadhan?" tanya orang itu. Lebih lanjut ia kembali bertanya, "Kalau betul setan dibelenggu, seharusnya tidak ada lagi yang berbuat maksiat. Lalu kenapa masih ada saja praktik-praktik maksiat selama Ramadhan?"

Pertanyaan ini mungkin mewakili keingintahuan kita terhadap sebuah hadis Rasulullah, "Apabila telah masuk bulan Ramadhan, dibukalah pintu-pintu langit, ditutuplah pintu-pintu neraka dan setan-setan dibelenggu". Apakah benar hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim ini mengandung makna denotasi? Apakah setan memang benar-benar dibelenggu? Atau sekedar makna kiasan? Sementara maksud yang sebenarnya bukan terbelenggunya setan.

Imam Ibnu Kuzaimah, seorang ulama hadis pernah memberikan pendapatnya mengenai hadis ini. Menurut Khuzaimah tidak semua setan yang dibelenggu. Tapi jenis yang jahat dari kalangan jin. Untuk mendukung pendapatnya, Khuzaimah kemudian menukil sebuah hadis Rasulullah, "Apabila telah datang malam pertama Ramadhan, dibelenggulah setan dan jenis yang jahat dari kalangan jin, ditutup pintu-pintu neraka dan tidak pernah dibuka selama Ramadhan. Begitu pula pintu surga selalu dibuka dan tidak pernah ditutup." (HR. Baihaqi, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah).

Di pihak lain, pensyarah kitab shahih Bukhari, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany yang mendapat julukan sebagai Amirul Mu'minin di bidang hadis mengatakan bahwa maksud setan dibelenggu bisa mengandung dua makna. Makna denotasi sebagaimana pendapat Khuzaimah. Atau makna konotasi yang berarti setan tidak mampu lagi menggoda manusia di bulan Ramadhan karena mereka khusyu' dengan ibadah puasa yang membelenggu syahwat.

Pendapat para ulama di atas membolehkan kita memaknai setan yang dibelenggu dengan makna denotasi dan konotasi. Denotasi berarti jenis yang jahat, yang selalu menggoda manusia dari kalangan jin dibelenggu dan tidak bebas berkeliaran. Itu juga berarti tidak ada penampakan di bulan Ramadhan. Kalaupun ada, berarti yang tampak adalah jin yang baik.

Sementara konotasi berarti pintu utama setan dalam menggoda manusia yaitu syahwat telah terbelenggu dengan ibadah puasa.

Lalu bagaimana maksiat yang masih terjadi di bulan Ramadhan? Imam Qurthubi seorang ahli tafsir yang menjawabnya. Kata Qurthubi, maksiat yang terjadi di bulan Ramadhan memiliki sebab lain di luar gangguan setan dari kalangan jin. Sebab itu seperti jiwa yang memang buruk, atau karena kebiasaan yang tidak bisa dirubah. Atau karena setan dari kalangan manusia.

Sebab setan dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang buruk. Sesuatu yang buruk itu bisa muncul dari kalangan jin dan manusia. Dalam ayat yang biasa dibaca para Imam di akhir rakaat witir, "...Dari kejahatan bisikan setan yang bersembunyi, yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia, (setan) dari golongan jin dan manusia" (Q.S.: An-Nâs: 4-6).

00.13 | 0 komentar

Tujuh Karakter Kader dalam Menghadapi Realitas Medan Dakwah

Disarikan dari berbagai taujih, oleh Cahyadi Takariawan

gambar : Google
gambar : Google
Dakwah di tengah kehidupan masyarakat pasti akan berhadapan dengan sejumlah kendala, tantangan, hambatan dan bahkan ancaman. Apalagi ketika dakwah sudah memasuki wilayah kelembagaan politik dan kenegaraan, akan lebih banyak lagi tantangan yang harus dihadapi. Para kader dakwah harus memiliki karakter yang kuat agar bisa mensikapi berbagai tantangan tersebut dengan tegar.

Paling tidak, kader dakwah diharapkan memiliki tujuh karakter berikut ini, agar bisa tegar menghadapi realitas medan dakwah yang kadang terasa sangat keras perbenturannya.

Pertama, atsbatu mauqifan, kader dakwah harus menjadi orang yang paling teguh pendirian dan paling kokoh sikapnya. At-Tsabat (keteguhan) adalah tsamratus shabr (buah dari kesabaran). Sebagaimana firman Allah, “Famaa wahanuu lima ashabahum fii sabiilillahi wamaa dha’ufu wamastakanu”. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah, dan Allah menyukai orang-orang yang sabar. Keteguhan itu membuat tenang, rasional, obyektif dan mendatangkan kepercayaan Allah untuk memberikan kemenangan.

Kedua, arhabu shadran, kader dakwah harus menjadi orang yang paling berlapang dada. Medan dakwah sering kali membuat hati sempit. Banyak kata-kata ejekan, cemoohan, caci maki, sumpah serapah yang terlontar begitu saja dari banyak kalangan. Kader dakwah tidak boleh bersempit hati dan sesak dada karena caci maki orang dan karena berita-berita di media massa yang sering kali mendiskreditkan tanpa konfirmasi dan pertanggungjawaban.

Ketiga, a’maqu fikran, kader dakwah harus menjadi orang yang memiliki pemikiran paling mendalam. Kader haru selalu berusaha mendalami apa yang terjadi, tidak terlarut pada fenomena permukaan, tetapi lihatlah ada apa hakikat di balik fenomena tersebut. Jika pemikiran kader bisa mendalam, ketika merespon pun akan lebih obyektif, terukur, dan seimbang.

Keempat, ausa’u nazharan, kader dakwah harus menjadi orang yang memiliki pandangan luas. Cakrawala pandangan kader dakwah harus terus menerus diperluas, agar tidak mengalami gejala kesempitan cara pandang. Membaca realitas dengan pandangan yang luas akan membawa kader kepada sikap adil dan moderat. Todak terjebak kepada sikap-sikap ekstrim dan berlebih-lebihan.

Kelima, ansyathu amalan, kader dakwah harus menjadi orang yang orang yang paling giat dalam bekerja. Kader dakwah tidak boleh disibukkan dengan membantah isu-isu, atau mengcounter suara-suara negatif, karena itu tidak banyak membawa produktivitas. Yang lebih produktif adalah selalu bekerja di tengah masyarakat. Tunjukkan kerja nyata. Jika ada yang perlu direspon, boleh direspon sesuai kebutuhan, namun tetap harus giat bekerja untuk kebaikan masyarakat, bangsa dan negara.

Keenam, ashlabu tanzhiman kader dakwah harus memiliki gerakan yang paling kokoh strukturnya. Sebagai jama’ah kumpulan manusia, pasti ada kekurangan dan kesalahan. Namun kewajiban kita adalah terus berusaha menghindarkan diri dari kesalahan dan kelemahan, sambil terus berbenah. Struktru dakwah harus terus menerus dikokohkan dari pusat, wilayah, daerah, cabang hingga ke ranting. Jangan biarkan ada celah yang bisa digunakan untuk melemahkan struktur dakwah.

Ketujuh, aktsaru naf’an, kader dakwah harus menjadi orang yang paling banyak manfaatnya. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Kader dakwah harus membuktikan bahwa keberadaan mereka di tengah kehidupan masyarakat memberikan banyak kontribusi kebikan. Tidak  merugikan atau membuat keonaran, namun justru memberikan banyak kemanfaatan dan kebaikan.
Jika tujuh karakter itu dimiliki oleh para kader dakwah, niscaya lebih ringan dan mudah menghadapi tantangan dan hambatan di sepanjang jalan dakwah. Kader dakwah dan seluruh aktivitas dakwah akan semakin kokoh dan diterima masyarakat, dalam menghadirkan berbagai kebajikan yang diharapkan oleh umat, bangsa dan negara.
23.52 | 0 komentar

8 Rakaat atau 20?

Setidaknya ada lima pendapat dari ulama kita mengenai jumlah rakaat Tarawih. Pertama 8 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Kedua 10 rakaat ditambah 3. Ketiga 20 rakaat dan 3 witir. Keempat 36 ditambah 3, 5 atau 7 witir. Terakhir adalah 40 rakaat Tarawih ditambah 3 atau 7 rakaat witir.

Jumlah 8 rakaat berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah, istri Rasulullah.

Menurutnya Rasulullah selalu melaksanakan Qiyamullail sebanyak 8 rakaat ditambah 3 rakaat witir baik di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Jumlah 8 rakaat ini juga memiliki dua versi. Versi pertama jumlah 8 rakaat itu dibagi ke dalam dua-dua rakaat. Versi kedua dibagi menjadi empat-empat rakaat.

Adapun 13 rakaat bersama witir adalah saat Rasulullah salat di rumah bibinya Maimunah. Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah salat 13 rakaat di waktu malam kemudian tidur. Setelah azan Subuh berkumandang, ia salat dua rakaat yang ringan lalu salat Subuh. Terhadap jumlah 13 rakaat ini, sebagian Ulama seperti Imam Bukhari dalam riwayat yang lain mengatakan bahwa maksudnya adalah 11 rakaat Tarawih dan witir ditambah 2 rakaat Sunnah sebelum salat Subuh. Pendapat Bukhari ini pula yang dipilih oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.
Selanjutnya Imam Malik yang meriwayatkan dari Yazid bin Ruman bahwa masyarakat muslim di zaman Umar bin Khattab melaksanakan salat Tarawih sebanyak 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Menurut Imam Malik, Umar melaksanakan Salat Tarawih ini ketika para sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar masih banyak yang hidup. Mereka tidak membantah apa yang dilakukan oleh Umar sehingga bisa dikatakan jumlah 20 rakaat disunnahkan berdasarkan ijma para sahabat. Dalam riwayat Yazid bin Hushaifah di Kitab Sunan Baihaqi juga disebutkan jumlah rakaat yang sama.

Saat Umar bin Abdul Azis menjadi Khalifah, jumlahnya semakin bertambah. Tarawih mencapai angka 36 rakaat sementara witirnya bisa 3, 5 atau 7 rakaat. Imam Syafi'i mengatakan bahwa ia melihat umat Islam di zamannya melaksanakan salat Tarawih di Madinah sebanyak 36 rakaat sementara di mekkah sebanyak 20 rakaat. Imam Syafi'i lalu menambahkan bahwa tidak ada masalah terkait dengan jumlah rakaat Tarawih. Sebab pada intinya salat Tarawih itu adalah sunnah yang tidak ada batasan jumlah rakaatnya. Imam Malik juga sependapat dengan Imam Syafi'i. Menurut Imam Malik jumlah 36 rakaat itu adalah kebiasaan yang dilakukan oleh penduduk Madinah.

Dalam kitab Fathul Bary (Syarah Kitab Sahih Bukhari) Imam Ibnu Hajar bahkan menyebut bahwa sebagian generasi salaf ada yang melaksanakan salat Tarawih sebanyak 40 rakaat. Lalu bagaimana kita bersikap terhadap jumlah rakaat yang bervariasi ini? 

Mari kita tanya kepada Imam Ibnu Taimiyah, seorang ulama yang sangat ketat terhadap bid'ah dan selalu berorientasi sunnah. Menurutnya semua rakaat tarawih tetap baik. Tidak ada jumlah yang pasti mengenai Tarawih di bulan Ramadhan. Karena Rasulullah juga tidak membatasinya.

Maka memilih jumlah yang terbaik adalah disesuaikan dengan kondisi makmum. Bila mereka kuat berdiri maka dipilih 8 rakaat sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah. Bila mereka tidak kuat maka dilaksanakan 20 rakaat. Ubay bin Ka'ab di zaman Umar juga melaksanakan 20 rakaat karena makmum tidak mampu berdiri terlalu lama. Melaksanakan 40 rakaat Tarawih juga dibolehkan. Sebab Tarawih adalah salat sunat yang tidak dibatasi jumlahnya.

Di akhir fatwanya tentang Tarawih, Ibnu Taimiyah mengatakan, "Barangsiapa yang mengira bahwa Tarawih itu ada jumlah rakaat tertentu dari Nabi Muhammad Saw maka sesungguhnya ia telah salah."

23.33 | 0 komentar

Semangat Karena Allah


http://tyafitriani.files.wordpress.com/2012/06/v1.jpg?w=397Dikala badai datang menghantam dinding semangat
disaat udara yang kita hirup terasa sesak
dan kaki tak sanggup lagi menapak
ada Allah yang selalu menyalakan api semangat untuk kita semua

Detik masa yang berlalu tiada henti
bersama sahabat mengarungi kehidupan
sayunya hati ini menjadikan awal dari semangatnya kita semua
kedamaian dan ketenangan yang selalu ada di lingkaran semangat kita

Kebersamaan dalam menopang kerapuhan
dan setangkai doa yang selalu mengiringi langkah kaki kita
lelah yang menghampiri kita tak berarti kita akan lemah
namun lelah itu menjadikan semangat yang tak berujung nantinya

Akhir yang membawa senyuman itulah yang kita semua harapkan
bahagia dari langkah-langkah kecil yang kita inginkan semoga tercapai
dan Ridho Allah yang selalu kita butuhkan untuk setiap langkah kita
seruan Takbir menjadikan senjata dikala lelah maupun semangat

Fitri
http://tyafitriani.wordpress.com
*)http://www.islamedia.web.id
06.26 | 0 komentar

Umar bin Khattab Cerdas Mengelola Keberanian


Kegelisahan melanda sebagian besar pemuka Quraisy. Gurat wajah mereka mengeras penuh beban. Kabar angin bahwa beberapa penduduk Yatsrib telah masuk Islam dan siap menampung kaum muslimin membuat mereka tak bisa lagi terlelap. Belum lagi saat Rasulullah SAW benar-benar menyuruh kaum muslimin untuk berhijrah ke negeri impian itu, mereka pun meningkatkan siksaan pada kaum muslimin yang tersisa di tanah suci. Berbondong-bondong, pelan namun pasti, kaum muslimin berhijrah dari Mekah ke Yatsrib dengan sembunyi-sembunyi. Dan pasukan Quraisy pun semakin meningkatkan penjagaan batas kotanya.

Kegelisahan itu tak terbendung lagi saat Umar bin Khattab mendeklarasikan niatnya untuk berhijrah.  Pemuda pemberani itu membawa pedang yang siap dihunuskan setiap saat, lalu shalat dan thawaf sejenak di Baitullah, sementara seluruh mata Quraisy tajam tertuju pada sosok tinggi besar itu. Usai thawaf, Umar naik ke atas bukit memandang sekeliling dengan pandangan yang teguh nan angkuh. Ia berseru lantang menciutkan hati kafir Quraisy. Ucapannya yang begitu tegas terpampang dalam sejarah orang-orang pemberani: “Barang siapa yang menginginkan istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim, maka temui aku dibalik bukit ini!!! “.  Ucapan yang tajam bak pedang terhunus. Menginjak-injak kesombongan dan harga diri kafir Quraisy. Tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka, bahwa sosok Umar kini benar-benar menantang keberanian mereka.

Pemuda itu tidak sedang bercanda dengan ucapannya. Ia tidak menantang dengan sembarang ucapan. Ia tidak memberi peluang kemenangan. Ia tidak menantang pada posisi lemah bahkan tidak pula seimbang. Ia menantang dalam posisi kemenangan! Karenanya ia memilih kalimat yang tajam: “Barang siapa yang menginginkan istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim ….. “. Habis sudah kesombongan yang sempat terpatri dalam barisan Quraisy. Mereka bagaikan kerbau dicocok hidung. Tak ada respon, tak ada kemarahan. Bahkan wajah mereka pun seolah tertunduk kalah. Dan Umar bin Khattab pun melenggang tenang ke Madinah. Allahu Akbar!

Jangan tergesa menuduh Umar bin Khattab nekad setengah mati. Jangan pula terburu berlebihan memuji bahwa ia super pemberani tanpa strategi. Tidak, sekali-kali tidak. Yang sedang dilakukan oleh Umar adalah mengelola potensi keberanian dengan cerdas. Ia sedang berstrategi dengan mengukur kemampuan dan potensi diri. Ia tahu persis kapan harus melakukan serangan ‘psyco war’ yang tajam menghujam, sebagaimana ia juga tahu kapan saat harus mundur teratur mengganti strategi.  Inilah yang dilakukan Umar di medan Hudaibiyah. Saat seribuan lebih pasukan muslim di Madinah hendak menunaikan umrah di tanah suci, kafir Quraisy pun bersegera mengancam untuk menahan mereka mati-matian.  Lalu Rasulullah SAW pun meminta Umar untuk menjadi utusan resmi, melobi pihak Quraisy agar membuka pintu Mekah bagi kaum muslimin yang akan umrah. Tapi kali ini Umar menolak dengan halus permintaan Rasulullah SAW yang sangat dihormatinya. Umar RA merekomendasikan Utsman bin Affan agar menjadi utusan berikutnya.

Ada apa dengan Umar? Ke mana keberaniannya saat Hijrah seorang diri menantang seluruh penduduk Quraisy? Apakah keberaniannya mati suri setelah beberapa tahun menikmati kenyamanan ‘Madinah”?  Tidak, sekali-kali tidak. Kali ini Umar RA pun sedang memainkan strateginya. Ia cerdas mengelola keberanian. Ia tidak sedang takut dan bahkan tidak pernah terbesit dalam hatinya rasa takut itu. Bagaimana ia bisa takut, sedangkan Rasulullah SAW saja menggambarkan sosok Umar sebagai satu-satunya manusia yang Jin pun enggan dan jengah berpapasan dengannya? Lalu apa yang dimaksudkan Umar dengan penolakannya itu?

Yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah strategi. Keberanian Al-Faaruuq itu tetap utuh pada tempatnya. Tidak berkurang sedikit pun dalam dadanya. Ia mundur sejenak karena sebuah strategi. Ia selalu cerdas mengelola keberanian yang ia miliki. Mengapa Umar menolak menjadi utusan Rasulullah SAW dan justru merekomendasikan nama Utsman bin Affan? Kecerdasan Umar dalam mengelola keberanian bisa kita lihat dalam beberapa hal berikut ini.

Pertama: Umar sadar dengan potensi dirinya. Ia bukanlah tipe negosiator yang baik. Ia seorang yang tegas dan tak terlampau suka berdialog dengan penentang keberanian. Jika ia menjadi utusan, maka ia takut akan merusak agenda damai Rasulullah SAW yang datang ke Mekah untuk sebuah tujuan ibadah yang begitu mulia. Jadi pada titik ini, ia merasa bukan orang tepat untuk membawa pesan kedamaian!

Kedua: Umar bin Khattab lebih merekomendasikan Utsman, karena Umar tahu persis bahwa Utsman lebih handal dalam kemampuan lobby dan agitasi. Bukan itu saja, Umar juga tahu bahwa Utsman masih mempunyai kaki yang kokoh di Mekah, keluarganya masih tersebar banyak di tanah mulia itu. Mereka adalah jaminan tidak langsung bagi keselamatan Utsman saat memasuki wilayah Quraisy. Berbeda dengan Umar bin Khattab dari Bani ‘Adi, yang mempunyai akses sekuat keluarga Utsman di Mekah.

Ketiga: Umar menyadari sepenuhnya, bahwa kepalanya saat ini sangat berharga dalam pandangan orang-orang Quraisy.  Umar masuk dalam kategori ‘most wanted’ bagi keluarga veteran Badr dari pihak pasukan Quraisy. Betapa tidak? Ingatan pasukan Quraisy pasti tidak akan pernah lupa, bagaimana pedang Umar telah banyak menyambar kepala pemuka-pemuka mereka di medan Badar. Pedang Umar telah banyak menumpahkan darah yang begitu murah saat itu. Inilah yang menjadikan gigi mereka selalu bergemeretak penuh dendam saat mendengar nama Umar. Umar tahu persis akan hal ini, karenanya ia mundur sejenak bukan karena penakut. Tapi ia begitu cerdas tahu kapan saatnya maju dan mundur, dan tetap dalam keberanian yang kokoh.  Umar bin Khattab juga cerdas saat merekomendasikan nama Utsman, karena Umar tahu bahwa profil Utsman relatif netral di mata Quraisy. Mereka belum menyimpan amarah dan dendam yang begitu besar, karena Utsman bin Affan tidak pernah terlibat dalam pertempuran Badar. Utsman tidak ikut mengayunkan pedang bersama kaum muslimin lainnya di medan Badr, atas perintah Rasulullah SAW untuk fokus pada perawatan istrinya yang sedang terbaring sakit parah di Madinah.

Inilah kecerdasan Umar dalam mengelola keberanian. Tahu kapan saatnya tampil meruntuhkan kesombongan lawan, dan paham kapan ia harus mundur sejenak menyimpan keberanian untuk tidak ditampilkan.

Setiap kita mempunyai potensi keberanian. Setiap hari keberanian kita akan ditantang dengan berbagai permasalahan. Keberanian kita akan senantiasa diuji dengan permasalahan yang kita hadapi dalam kehidupan ini. Akan ada berbagai pilihan untuk membuat keputusan-keputusan besar yang senantiasa menggoda bagi kita untuk menjawabnya saat ini juga, apakah dengan menampilkan keberanian begitu saja apa adanya, ataukah menyimpannya sejenak dengan penuh kecerdasan dan strategi sebagaimana Umar bin Khattab mencontohkan?

Semua pasti akan mengalami saat-saat semacam ini. Para penentu kebijakan selalu saja dalam posisi yang gamang; Apakah menunjukkan keberanian untuk memuaskan harapan para pendukungnya? Agar keberanian itu tetap terjaga citranya di hadapan teman, keluarga atau bawahannya. Ataukah memilih mengelola keberanian itu dengan cerdas, menyimpannya sejenak, sehingga seolah terlihat tak ada keputusan yang berani, tetapi sejatinya yang ada adalah langkah jitu yang akan membuahkan kemenangan telak dan sekaligus membungkam lawan! Akhirnya, selamat mengelola keberanian Anda dengan cerdas. Semoga bermanfaat!



Sumber: klik
06.21 | 0 komentar

Ketika Virus Menyepi Hadir Menyapa

Hati-hati dengan kesepian. Inilah salah satu penyakit yang mampu menggerogoti semangat berkarya, beramal dan berdakwah. Dulu banyak kaum berilmu yang menyepikan diri dengan pergaulan bersama umat karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah SWT. Mereka berkonsentrasi menjual dirinya pada Allah semata. Tidak mau disibukkan dengan aktivitas lain yang akan mengganggu konsentrasi ibadahnya.

Benarkah pendapat seperti di atas? Saya hanya ingin memberikan penegasan bahwa berpendapat seperti di atas sebenarnya sangat tidak salah saat umat semuanya sadar menjalankan syariat agama? Namun sekarang masih banyak kita dapati umat yang antipati menjalankan ajaran agamanya. Masih banyak orang mengaku Islam tapi tak pernah patuh menjalankan ajarannya. Lalu kalau banyak orang shalih yang tergoda untuk menyepi dan meninggalkan kebisingan dunia, siapa yang akan menyadarkan orang-orang yang mengaku beragama tapi tak mau menjalankan syariat agamanya itu? Siapa yang memberikan pencerahan bagi umat yang semangat beribadahnya memburam? Siapa yang bangkit melawan tontonan kemaksiatan yang memerihkan mata? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Saudaraku, mari hentikan aktivitas menyepi kita. Menyepi dari urusan umat. Menyepi dari aktivitas dakwah. Sesungguhnya dakwah adalah urusan kita yang sudah tersinari dengan cahaya hidayah. Mengapa kita berhenti dari aktivitas mulia ini. Biarlah yang lain berhenti dari aktivitasnya karena godaan-godaan dunia yang tak mampu dilawannya. Tapi pastikan kau bukan di barisan orang-orang yang tergoda itu. Biarlah yang lain menyepi karena virus merah jambu yang membuat nyali berjuangnya mati. Tapi pastikan itu bukan engkau. Biarlah yang lain pergi asalkan kau tetap berada di barisan ini.

Kita amat tahu godaan-godaan untuk menyepi itu sangat banyak menyapa. Memanggil kita dengan sangat kerasnya untuk menghampirinya. Tapi jangan pernah tergoda. Keindahan surga dan kenikmatan bersaudara terlalu sayang untuk kita tinggalkan.

Saudaraku, kenapa panggilan untuk menyepi itu semakin kuat godaannya? Jawabannya karena kita telah kehilangan kenikmatan beribadah kepada Allah. Coba periksa tilawah Qur’an kita. Apakah tilawah itu mampu meresap dalam sanubari kita? Coba cek shalat kita, apakah sudah kita kerjakan dengan khusyuk? Coba amati shalat Dhuha dan tahajud kita, sudahkah mampu kita kerjakan dengan rutin? Coba cek kedekatan kita dengan saudara-saudara seperjuangan, semakin renggang atau semakin erat?

Ketika shalat tak mampu lagi khusyuk, ketika tilawah Qur’an tak lagi menenangkan jiwa. Ketika Dhuha dan Qiyamullail sudah semakin sering ditinggalkan. Ketika kita semakin jauh dari saudara-saudara seperjuangan. Waspadalah, itulah yang menyebabkan virus untuk menyepi dari jalan dakwah berkembang biak. Ketika virus-virus keinginan menyepi itu tak segera dibasmi maka dia akan menjadi penyakit dakwah yang mematikan. Hampir dapat dipastikan pengidapnya akan meninggalkan jalan menuju surga yang pernah dilaluinya. Ketika pengidapnya telah berjamaah maka akan dipastikan kapal jamaah dakwah itu akan hancur berkeping-keping. Selanjutnya kehancuran kapal jamaah dakwah akan menghancurkan jati diri umat terbaik. Dan hancurnya jati diri umat terbaik akan menghancurkan kehidupan.

Sesungguhnya dunia ini belum berakhir karena masih banyak orang beriman yang menjalani aktivitas dakwahnya dengan penuh keikhlasan dan ketundukan. Regenerasi orang beriman hanya tercipta dari kemauan para pendakwah mengorbankan waktunya, hartanya dan bahkan hidupnya dalam mengajarkan syariat-syariat Allah. Mari waqafkan kehidupan kita untuk menghadirkan generasi-generasi orang beriman yang patuh pada perintah Allah SWT. Jangan tergoda untuk menyepi karena bagi kita dakwah adalah nafas kehidupan yang membuat usia hidup kita masih bertahan lama. 

Sardini RamadhanOleh: Sardini Ramadhan
06.20 | 0 komentar

Ri’ayah Dakwah

Oleh: KH. Hilmi Aminuddin, Lc.
Untuk menjamin nishabul baqa (angka atau quota yang aman bagi eksistensi gerakan dakwah), qudratu ‘ala tahammul (kemampuan memikul beban / tanggung jawab), dan hayawiyatul harakah (dinamika gerakan); perlu dilakukan ri’ayah da’wah, yang meliputi:

Ri’ayah Tarbawiyah

Ini sangat penting sebagai basis dari sebuah program.  Sebuah recovery tarbiyyah. Walaupun kita juga harus tawazzun (seimbang), dalam arti, sering saya ingatkan bahwa kita ini harakah Islamiyah bukan harakah tarbawiyyah. Walaupun kita faham bahwa tarbiyah itu bukan segala sesuatu dalam jamaah ini—karena ia hanya juz’iyyatul ‘alal amal islami, tapi dia sangat menentukan segala sesuatu. Makanya jangan lalai dalam tarbiyah ini.  Saya pun bertanggung jawab jangan sampai terjadi tawaruth siyasi (larut dalam dunia politik).

Hasil tarbiyah ini jangan dibatasi manfaatnya menjadi tarbiyah untuk tarbiyah. Artinya moralitas, idealisme, dan semangat yang dihasilkan tarbiyah itu jangan hanya dirasakan ketika ia menjadi murabbi saja. Tapi harus dirasakan juga produk tarbiyah itu baik secara moralitas, idealisme, akhlak, hayawiyah, semangat ke dalam dunia politik. Aktif dalam sektor bisnis, eksekutif, budaya, sosial, dan peradaban; perasaan bahwa mereka juga harus merasakan tarbiyah. Jangan sampai produk-produk tarbawi hanya semangat ketika mentarbiyah saja. Ketika di dunia politik dia lesu, di dunia ekonomi memble, di dunia sosial kemasyarakatan ketinggalan, dalam seni budaya jauh di urutan ke berapa.

Tarbiyah harus bisa memacu, memberikan semangat, memberikan moralitas tinggi, idealisme tinggi dalam segala bidang. Itu sebetulnya sudah kita rasakan, dan semakin kita butuhkan ketika kita semakin besar. Jangan sampai potensi apa pun yang ada tidak mendapat sentuhan tarbawi tersebut. Jangan terjadi apa yang dinamakan al-izaaban  (pelarutan). Jangan sampai ketika aktif di bidang politik terjadi izaabatu syakhsiyyatul islamiyyah (pelarutan kepribadian islami), atau aktif di bidang ekonomi terjadi izaabatul akhlaqul islamiyyah. Pelarutan-pelarutan itu insya Allah tidak akan terjadi atau bisa diminimalisir jika tarbiyah kita konsisten.

Ri’ayah Ijtima’iyah

Kemampuan kita melakukan komunikasi sosial, baik dalam jama’ah sendiri atau juga di masyarakat, tahsinul ‘alaqotul ijtima’iyyah (perbaikan hubungan kemasyarakatan) ini sangat dibutuhkan dalam peran kita sebagai da’i.

Ri’ayah Tanzhimiyah

Jaringan struktur kita sebagai jalur komando harus solid. Agar cepat dan tepat, bisa menyalurkan program-program dari pusat sampai ke daerah-daerah.

Ri’ayah Iqtishadiyah

Ekonomi ini menjadi perhatian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (sesaat setelah hijrah-red) setelah membangun masjid. Masjid untuk membangun anfus (jiwa) dan pasar untuk membangun potensi amwal (harta), keduanya untuk wa jahidu bi amwalikum wa anfusikum.

Ekonomi kita masih berbasiskan ekonomi jaringan, belum berbasiskan ekonomi pasar. Yang dagang ikhwan dan akhwat, yang belanja juga ikhwan dan akhwat. Memang ekonomi jaringan itu nikmat, tapi sulit untuk menjadi besar, artinya ketemu pedagang sambil kangen-kangenan, tawar menawarnya juga enak. Dalam ekonomi kalau mau menjadi besar itu harus berbasiskan pasar.

Dalam ri’ayah iqtishadiyah, pelihara terus ekonomi jaringan, tetapi kembangkan menuju ekonomi pasar. Ekonomi jaringan itu menjadi basis ekonomi pasar. Jangan keasyikan berputar-putar di ekonomi jaringan, gak bisa besar. Sebab pasar kita terbatas. Coba hitung berapa persen kader kita yang menjadi pedagang, kemudian berapa komunitas kita yang jadi pasarnya. Apalagi kalau dibagi dengan jumlah pedagang yang berdagang dari halaqoh ke halaqoh, sehingga pembagian jumlah konsumen itu kecil.

Kita berada di negara yang pasarnya dipenuhi oleh negara-negara besar; Amerika, Eropa, Cina, dan Jepang berebut pasar Indonesia. Kenapa kita sebagai pemilik pasar tidak mendayagunakannya sebesar-besar manfaat dari pasar Indonesia ini. Pasar Indonesia ini pasar yang jika dilihat dari luas geografisnya—bahkan secara demografisnya lebih luas lagi—sama dengan London – Moskow.

Ri’ayah Siyasiyah

Komunikasi politik kita harus lebih baik antar partai-partai. Jangan ada hambatan-hambatan yang membuat komunikasi kita dengan mereka terputus. Terutama karena kita partai dakwah. Jangan ada komunikasi yang putus dengan siapa pun. PDIP mad’u (objek dakwah) kita, Golkar mad’u kita, bahkan PDS juga mad’u kita. Sebisa mungkin ada jalur komunikasi. Jika tidak ada komunikasi keumatan atau keislaman, maka bangun jalur kemanusiaan. Saya kira tidak ada partai yang anggotanya bukan manusia. Banteng simbolnya, tapi anggotanya tetap manusia.

Minimal hubungan kemanusiaan harus terbentuk dengan kelompok manapun. Ingat, seperti dulu saya tegaskan bahwa mihwar muassasi itu merupakan muqaddimah menuju mihwar dauli. Kalau kita sudah mencapai mihwar dauli, rakyat yang kita kelola itu dari beragam parpol, kelompok, dan agama; semuanya rakyat yang harus kita kelola. Harus kita layani. Jangan dibayangkan kalau sebuah partai dakwah berkuasa di sebuah negara, akan membumihanguskan golongan-golongan lain. Tidak! Karena khilafah fil ardhi, termasuk embrionya, mihwar daulah, itu juga mengemban misi rahmatan lil ‘alamin, bukan rahmatan lil mu’minin saja. Semua komponen bangsa harus menikmati kehadiran kita dalam sebuah daulah, minimal secara manusia. Terjamin hak-hak kemanusiaannya, termasuk hak-hak politiknya tidak akan diberangus. Kita akan memberikan space kepada siapa pun komponen bangsa ini—sudah tentu yang tidak bertentangan dengan konstitusi negara yang disepakati—agar mempunyai ruang hidup, baik secara politik, ekonomi, budaya, dan relijius.

Itu latihannya dari sekarang. Membangun komunikasi politik, budaya, bisnis, dan sosial dengan semua golongan, semua lapisan masyarakat, semua kelompok, semua komponen bangsa dari sekarang. Sehingga kita diakui, laik memimpin negara ini. Allahu Akbar! Insya Allah tidak lama lagi.

23.16 | 0 komentar

KIPRAH KEWANITAAN

GALLERY FOTO

Cari Artikel di Sini

Counters


Categories